BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Toleransi (Arab: as-samahah) adalah konsep
modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di
antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa,
budaya, politik, maupun agama. Toleransi, karena itu, merupakan konsep agung
dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama,
termasuk agama Islam.
Dalam konteks toleransi antar-umat beragama,
Islam memiliki konsep yang jelas. “Tidak ada paksaan dalam agama” , “Bagi
kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami” adalah contoh populer dari
toleransi dalam Islam. Selain ayat-ayat itu, banyak ayat lain yang tersebar di
berbagai Surah. Juga sejumlah hadis dan praktik toleransi dalam sejarah Islam.
Fakta-fakta historis itu menunjukkan bahwa masalah toleransi dalam Islam
bukanlah konsep asing. Toleransi adalah bagian integral dari Islam itu sendiri
yang detail-detailnya kemudian dirumuskan oleh para ulama dalam karya-karya
tafsir mereka. Kemudian rumusan-rumusan ini disempurnakan oleh para ulama dengan
pengayaan-pengayaan baru sehingga akhirnya menjadi praktik kesejarahan dalam
masyarakat Islam.
Kemunduran dunia Islam yang masih terus
berlangsung hingga saat ini, tidak dapat dipungkiri, telah berdampak negatif
terhadap kondisi umat Islam secara internasional. Kaum muslim di berbagai
belahan dunia terus menjadi bulan-bulanan para musuh Islam (baca: jaringan
Zionis internasional dan Barat), tanpa mampu memberikan perlawanan yang
berarti. Meski sejak paruh terakhir abad keduapuluh penetrasi secara fisik
(militer) terhadap wilayah-wilayah Islam telah banyak menurun intensitasnya,
namun tidak berarti umat Islam dapat bernapas lega.Ini dikarenakan para musuh
Islam telah menyiapkan bentuk-bentuk penjajahan baru (new imperialism) yang
efeknya tidak kalah mengerikan dari peperangan secara fisik. Hegemoni di bidang
ekonomi, politik, budaya, dan pemikiran, yang terus dibangun oleh para
penentang Islam tersebut, hanyalah sebagian, untuk sekedar menyebut contoh,
dari bentuk-bentuk konspirasi mutakhir untuk tetap memposisikan kaum muslim
sebagai pihak yang inferior.
Menurut ajaran Islam, toleransi bukan saja
terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam semesta, binatang, dan
lingkungan hidup. Dengan makna toleransi yang luas semacam ini, maka
toleransi antar-umat beragama dalam Islam memperoleh perhatian penting dan
serius. Apalagi toleransi beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi
keyakinan manusia terhadap Allah. Ia begitu sensitif, primordial, dan mudah
membakar konflik sehingga menyedot perhatian besar dari Islam. Makalah berikut
akan mengulas pandangan Islam tentang toleransi. Ulasan ini dilakukan baik pada
tingkat paradigma, doktrin, teori maupun praktik toleransi dalam kehidupan
manusia.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Pengertian
Toleransi.
2.
Konsep
toleransi dalam Islam.
3.
Toleransi dalam
praktik sejarah agama Islam.
4.
Dasar Pemikiran dan Batasan Toleransi menurut
Al-Quran dan Sunnah.
5.
Contoh perilaku
toleransi dalam Islam.
6.
Manfaat Toleransi Hidup Beragama Dalam
Pandangan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Toleransi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan
bahwa kata toleransi berarti sifat atau sikap toleran. Kata toleran
sendiri didefinisikan sebagai “bersifat atau bersikap menenggang (menghargai,
membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan,
kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan
pendirian sendiri. Kata toleransi sebenarnya bukanlah bahasa “asli” Indonesia,
tetapi serapan dari bahasa Inggris “tolerance”, yang definisinya juga tidak
jauh berbeda dengan kata toleransi/toleran. Menurut Oxford Advanced Learners
Dictionary of Current English, toleransi adalah quality of tolerating opinions,
beliefs, customs, behaviors, etc, different from one’s own. Lebih lanjut
menurut Abdul Malik Salman, kata tolerance sendiri berasal dari bahasa latin
“tolerare” yang berarti “berusaha untuk tetap bertahan hidup, tinggal, atau
berinteraksi dengan sesuatu yang sebenarnya tidak disukai atau disenangi.
Dengan demikian, pada awalnya dalam makna tolerance terkandung sikap
keterpaksaan.
Adapun dalam bahasa Arab, istilah yang lazim
dipergunakan sebagai padanan dari kata toleransi adalah سماحة atau تسامح. Kata ini pada
dasarnya berarti al-jûd (kemuliaan),[7] atau
sa’at al-shadr (lapang dada) dan tasâhul (ramah, suka memaafkan).[8] Makna
ini selanjutnya berkembang menjadi sikap lapang dada/ terbuka (welcome) dalam
menghadapi perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang mulia.[9] Dengan
demikian, berbeda dengan kata tolerance yang mengandung nuansa keterpaksaan,
maka kata tasâmuh memiliki keutamaan, karena melambangkan sikap yang bersumber
pada kemuliaan diri (al-jûd wa al-karam) dan keikhlasan.
Jika dicermati dengan seksama, pemahaman tentang toleransi tidak dapat berdiri sendiri.Ia terkait erat dengan suatu realitas lain di alam yang merupakan penyebab langsung dari lahirnya toleransi. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Memahami toleransi an sich tidak akan ada artinya tanpa memahami realitas lain tersebut, yaitu kemajemukan (pluralisme; bahasa Arab: ta’addudiyyah). Dengan demikian, untuk dapat bertoleransi dengan baik, maka pemahaman terhadap pluralisme terlebih dahulu mutlak diperlukan.
Jika dicermati dengan seksama, pemahaman tentang toleransi tidak dapat berdiri sendiri.Ia terkait erat dengan suatu realitas lain di alam yang merupakan penyebab langsung dari lahirnya toleransi. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Memahami toleransi an sich tidak akan ada artinya tanpa memahami realitas lain tersebut, yaitu kemajemukan (pluralisme; bahasa Arab: ta’addudiyyah). Dengan demikian, untuk dapat bertoleransi dengan baik, maka pemahaman terhadap pluralisme terlebih dahulu mutlak diperlukan.
2.2
Konsep Toleransi Dalam
Islam
Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya
diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah “damai”, “selamat” dan
“menyerahkan diri”. Definisi Islam yang demikian sering dirumuskan dengan
istilah “Islam agama rahmatal lil’lamîn” (agama yang mengayomi seluruh alam).
Ini berarti bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam
menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam
menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah
kehendak Allah, karena itu tak mungkin disamakan. Dalam al-Qur’an Allah
berfirman yang artinya, “dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman
semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa
manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”
Di bagian lain Allah mengingatkan, yang
artinya: “Sesungguhnya ini adalah umatmu semua (wahai para rasul), yaitu umat
yang tunggal, dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah olehmu sekalian akan Daku
(saja). Ayat ini menegaskan bahwa pada dasarnya umat manusia itu tunggal
tapi kemudian mereka berpencar memilih keyakinannya masing-masing. Ini
mengartikulasikan bahwa Islam memahami pilihan keyakinan mereka sekalipun Islam
juga menjelaskan “sesungguhnya telah jelas antara yang benar dari yang bathil”.
Selanjutnya, di Surah Yunus Allah menandaskan
lagi, yang artinya: “Katakan olehmu (ya Muhamad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah
menuju ke titik pertemuan (kalimatun Rasulullah SAW atau common values) antara
kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula
memperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak
mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah!” Ayat
ini mengajak umat beragama (terutama Yahudi, Kristiani, dan Islam) menekankan
persamaan dan menghindari perbedaan demi merengkuh rasa saling menghargai dan
menghormati. Ayat ini juga mengajak untuk sama-sama menjunjung tinggi tawhid,
yaitu sikap tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Jadi, ayat ini dengan
amat jelas menyuguhkan suatu konsep toleransi antar-umat beragama yang didasari
oleh kepentingan yang sama, yaitu ‘menjauhi konflik’.
Saling menghargai dalam iman dan keyakinan
adalah konsep Islam yang amat komprehensif. Konsekuensi dari prinsip ini adalah
lahirnya spirit taqwa dalam beragama. Karena taqwa kepada Allah melahirkan rasa
persaudaraan universal di antara umat manusia. Abu Ju’la dengan amat
menarik mengemukakan, “Semu makhluk adalah tanggungan Allah, dan yang paling
dicintainya adalah yang paling bermanfaat bagi sesama tanggungannya”.
Selain itu, hadits Nabi tentang persaudaraan
universal yang artinya “sayangilah orang yang ada di bumi maka akan sayang pula
mereka yang di langit kepadamu”. Persaudaran universal adalah bentuk dari
toleransi yang diajarkan Islam. Persaudaraan ini menyebabkan terlindunginya
hak-hak orang lain dan diterimanya perbedaan dalam suatu masyarakat Islam.
Dalam persaudaraan universal juga terlibat konsep keadilan, perdamaian, dan
kerja sama yang saling menguntungkan serta menegasikan semua keburukan.
Fakta historis toleransi juga dapat ditunjukkan
melalui Piagam Madinah. Piagam ini adalah satu contoh mengenai prinsip
kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhamad SAW di Madinah.
Di antara butir-butir yang menegaskan toleransi beragama adalah sikap saling
menghormati di antara agama yang ada dan tidak saling menyakiti serta saling
melindungi anggota yang terikat dalam Piagam Madinah.
Sikap melindungi dan saling tolong-menolong
tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan juga muncul dalam sejumlah Hadis dan
praktik Nabi. Bahkan sikap ini dianggap sebagai bagian yang melibatkan Tuhan.
Sebagai contoh, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Syu’ab
al-Imam, karya seorang pemikir abad ke-11, al-Baihaqi, dikatakan: “Siapa yang
membongkar aib orang lain di dunia ini, maka Allah (nanti) pasti akan membongkar
aibnya di hari pembalasan”.
Di sini, saling tolong-menolong di antara
sesama umat manusia muncul dari pemahaman bahwa umat manusia adalah satu badan,
dan kehilangan sifat kemanusiaannya bila mereka menyakiti satu sama lain.
Tolong-menolong, sebagai bagian dari inti toleransi, menajdi prinsip yang
sangat kuat di dalam Islam.
Namun, prinsip yang mengakar paling kuat dalam
pemikiran Islam yang mendukung sebuah teologi toleransi adalah keyakinan kepada
sebuah agama fitrah, yang tertanam di dalam diri semua manusia, dan kebaikan
manusia merupakan konsekuensi alamiah dari prinsip ini.
Dalam hal ini, al-Qur’an menyatakan yang
artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu ke arah agama menurut cara (Alla); yang
alamiah sesuai dengan pola pemberian (fitrah) Allah, atas dasar mana Dia
menciptakan manusia…”
Mufassir Baidhawi terhadap ayat di atas
menegaskan bahwa kalimat itu merujuk pada perjanjian yang disepakati Adam dan
keturunanya. Perjanjian ini dibuat dalam suatu keadaan, yang dianggap seluruh
kaum Muslim sebagai suatu yang sentral dalam sejarah moral umat manusia, karena
semua benih umat manusia berasal dari sulbi anak-anak Adam. Penegasan Baidhawi
sangat relevan jika dikaitkan dengan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi
ditanya: “Agama yang manakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab
“agama asal mula yang toleran (al-hanîfiyyatus samhah).
Dilihat dari argumen-argumen di atas,
menunjukkan bahwa baik al-Qur’an maupun Sunnah Nabi secara otentik mengajarkan
toleransi dalam artinya yang penuh. Ini jelas berbeda dengan gagasan dan
praktik toleransi yang ada di barat. Toleransi di barat lahir karena
perang-perang agama pada abad ke-17 telah mengoyak-ngoyak rasa kemanusiaan
sehingga nyaris harga manusia jatuh ke titik nadir. Latar belakang itu
menghasilkan kesepakatan-kesepakatan di bidang Toleransi Antar-agama yang
kemudian meluas ke aspek-aspek kesetaraan manusia di depan hukum.
Toleransi menurut Syekh Salim bin Hilali
memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu antara lain:
1.
Kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan
2.
Kelapangan dada karena kebersihan dan ketaqwaan
3.
Kelemah lembutan karena kemudahan
4.
Muka yang ceria karena kegembiraan
5.
Rendah diri dihadapan kaum muslimin bukan
karena kehinaan
6.
Mudah dalam berhubungan sosial (mu'amalah)
tanpa penipuan dan kelalaian
7.
Menggampangkan dalam berda'wah ke jalan Allah
tanpa basa basi
8.
Terikat dan tunduk kepada agama Allah Subhanahu
wa Ta'ala tanpa ada rasa keberatan.
Selanjutnya, menurut Salin al-Hilali
karakteristik itu merupakan Inti Islam, Seutama iman, dan Puncak tertinggi budi
pekerti (akhlaq). Dalam konteks ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
bersabda. Artinya: “Sebaik-baik orang adalah yang memiliki hati yang mahmum dan
lisan yang jujur, ditanyakan: Apa hati yang mahmum itu? Jawabnya : 'Adalah hati
yang bertaqwa, bersih tidak ada dosa, tidak ada sikap melampui batas dan tidak
ada rasa dengki'. Ditanyakan: Siapa lagi (yang lebih baik) setelah itu?.
Jawabnya : 'Orang-orang yang membenci dunia dan cinta akhirat'. Ditanyakan :
Siapa lagi setelah itu? Jawabnya : 'Seorang mukmin yang berbudi pekerti
luhur."
Dasar-dasar al-Sunnah (Hadis Nabi) tersebut
dikemukakan untuk menegaskan bahwa toleransi dalam Islam itu sangat
komprehensif dan serba-meliputi. Baik lahir maupun batin. Toleransi, karena
itu, tak akan tegak jika tidak lahir dari hati, dari dalam. Ini berarti
toleransi bukan saja memerlukan kesediaan ruang untuk menerima perbedaan,
tetapi juga memerlukan pengorbanan material maupun spiritual, lahir maupun
batin. Di sinilah, konsep Islam tentang toleransi (as-samahah) menjadi dasar
bagi umat Islam untuk melakukan mu’amalah (hablum minan nas) yang ditopang oleh
kaitan spiritual kokoh (hablum minallah).
2.3
Toleransi Dalam Praktik Sejarah Islam
Sejarah Islam adalah sejarah toleransi.
Perkembangan Islam ke wilayah-wilayah luar Jazirah Arabia yang begitu cepat
menunjukkan bahwa Islam dapat diterima sebagai rahmatal lil’alamin (pengayom
semua manusia dan alam semesta). Ekspansi-ekspansi Islam ke Siria, Mesir,
Spanyol, Persia, Asia, dan ke seluruh dunia dilakukan melalui jalan damai.
Islam tidak memaksakan agama kepada mereka (penduduk taklukan) sampai akhirnya
mereka menemukan kebenaran Islam itu sendiri melalui interaksi intensif dan
dialog. Kondisi ini berjalan merata hingga Islam mencapai wilayah yang sangat
luas ke hampir seluruh dunia dengan amat singkat dan fantastik.
Memang perlu diakui bahwa perluasan wilayah
Islam itu sering menimbulkan peperangan. Tapi peperangan itu dilakukan hanya
sebagai pembelaan sehingga Islam tak mengalami kekalahan. Peperangan itu bukan
karena memaksakan keyakinan kepada mereka tapi karena ekses-ekses politik
sebagai konsekuensi logis dari sebuah pendudukan. Pemaksaan keyakinan agama
adalah dilarang dalam Islam. Bahkan sekalipun Islam telah berkuasa, banyak
agama lokal yang tetap dibolehkan hidup.
Demikianlah, sikap toleransi Islam terhadap
agama-agama dan keyakinan-keyakinan lokal dalam sejarah kekuasaan Islam
menunjukkan garis kontinum antara prinsip Syari’ah dengan praktiknya di
lapangan. Meski praktik toleransi sering mengalami interupsi, namun secara
doktrin tak ada dukungan teks Syari’ah. Ini berarti kekerasan yang terjadi atas
nama Islam bukanlah otentisitas ajaran Islam itu sendiri. Bahkan bukti-bukti
sejarah menunjukkan bahwa pemerintah-pemerintah Muslim membiarkan, bekerjasama,
dan memakai orang-orang Kristen, Yahudi, Shabi’un, dan penyembah berhala dalam
pemerintahan mereka atau sebagai pegawai dalam pemerintahan.
Lebih lanjut kesaksian seorang Yahudi bernama
Max I. Dimon menyatakan bahwa “salah satu akibat dari toleransi Islam adalah
bebasnya orang-orang Yahudi berpindah dan mengambil manfaat dengan menempatkan
diri mereka di seluruh pelosok Empirium Islam yang amat besar itu. Lainnya
ialah bahwa mereka dapat mencari penghidupan dalam cara apapun yang mereka
pilih, karena tidak ada profesi yang dilarang bagi mereka, juga tak ada
keahlian khusus yang diserahkan kepada mereka”.
Pengakuan Max I. Dimon atas toleransi Islam
pada orang-orang Yahudi di Spanyol adalah pengakuan yang sangat tepat. Ia
bahkan menyatakan bahwa dalam peradaban Islam, masyarakat Islam membuka pintu
masjid, dan kamar tidur mereka, untuk pindah agama, pendidikan, maupun
asimilasi. Orang-orang Yahudi, kata Max I. Dimon selanjutnya, tidak pernah
mengalami hal yang begitu bagus sebelumnya.
Kutipan ini saya tegaskan karena ini dapat
menjadi kesaksian dari seorang non-Muslim tentang toleransi Islam. Dan
toleransi ini secara relatif terus dipraktikkan di dalam sejarah Islam di
masa-masa sesudahnya oleh orang-orang Muslim di kawasan lain, termasuk di
Nusantara. Melalui para pedagang Gujarat dan Arab, para raja di Nusantara
Indonesia masuk Islam dan ini menjadi cikal bakal tumbuhnya Islam di sini.
Selanjutnya, dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara,
ia dilakukan melalui perdagangan dan interaksi kawin-mawin. Ia tidak dilakukan
melalui kolonialisme atau penjajahan sehingga sikap penerimaan masyarakat
Nusantara sangat apresiatif dan dengan suka rela memeluk agama Islam. Sementara
penduduk lokal lain yang tetap pada keyakinan lamanya juga tidak dimusuhi. Di
sini, perlu dicatat bahwa model akulturasi dan enkulturasi budaya juga
dilakukan demi toleransi dengan budaya-budaya setempat sehingga tak menimbulkan
konflik. Apa yang dicontohkan para walisongo di Jawa, misalnya, merupakan
contoh sahih betapa penyebaran Islam dilakukan dengan pola-pola toleransi yang
amat mencengangkan bagi keagungan ajaran Islam.
Secara perlahan dan pasti, islamisasi di
seluruh Nusantara hampir mendekati sempurna yang dilakukan tanpa konflik
sedikitpun. Hingga hari ini kegairahan beragama Islam dengan segala
gegap-gempitanya menandai keberhasilan toleransi Islam. Ini membuktikan bahwa
jika tak ada toleransi, yakni sikap menghormati perbedaan budaya maka
perkembangan Islam di Nusantara tak akan sefantastik sekarang.
2.4
Dasar Pemikiran dan Batasan Toleransi menurut
Al-Quran dan Sunnah
2.4.1
QS. Al-Kafirun ayat 1-6 :
Surat Al-Kafirun diturunkan di Makkah dan terdiri dari 6
ayat. Nama Surah ini diambil dari perkataan Al-Kafiruun (orang-orang kafir)
yang terdapat pada ayat 1. Melalui surah ini Allah SWT berfirman :
Artinya: :
1.
Katakanlah: "Hai
orang-orang kafir,
2.
Aku tidak akan menyembah
apa yang kamu sembah.
3.
Dan kamu bukan penyembah
Tuhan yamg aku sembah.
4.
Dan aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
5.
Dan kamu tidak pernah
(pula) menjadi penyembah Tuhan yamg Aku sembah.
6.
Untukmu agamamu,dan
untukkulah,agamaku."
v Asababun Nuzul QS. Al Kafirun
Turunnya QS. Al Kafirun dilatarbelakangi oleh ajakan kaum
musrikin Quraisy yang selalu berupaya untuk membendung dakwah Rasulullah SAW
dengan bujukan sampai dengan cara penyiksaan dan intimidasi mengalami
kegagalan. Akhirnya ada gagasan untuk mengajak kompromi Rosulullah SAW. Mereka
mengajak Rasulullah beserta para sahabat untuk menyembah tuhan mereka dengan
cara mereka menyembah selama 1 tahun,kemudian 1 tahun berikutnya mereka
bersedia untuk menyembah Allah SWT dengan tuntunan Rasulullah. Dari peristiwa itu
lalu Allah mewahyukan kepada Rasulullah SAW sebagai respon ajakan kaum musrikin
Quraisy.
v Isi Pokok Kandungan QS. Al Kafirun
Isi pernyataan selanjutnya adalah Nabi Muhammad SAW
memberikan penegasan kepada orang-orang kafir bahwa mereka pun tidak diperkenankan
menyembah Allah . Hal ini terdapat dalam ayat 3 dan 5 . Tegasnya ada 2 hal yang
tidak dapat untuk dikompromi/ditoleransi ialah Dzat yang disembah dan cara
menyembah/beribadah. Toleransi hanya dapat dilakukan dalam hubungan sosial
kemasyarakatan (muamalah).
Sedangkan pada ayat terakhir, Rasulullah memberikan
ultimatum untuk tidak memaksakan kehendak pada orang lain untuk menganut suatu
agama. Persoalan aqidah atau keyakinan agama adalah hak yang sangat azazi bagi
masing-masing manusia. Jadi isi pokok kandungan QS. Al Kaafiruun :
1.
Batas-batas toleransi
dalam hal aqidah dan ibadah.
2.
Umat Islam dilarang
mencampuradukkan masalah aqidah dan ibadah.
3.
Tata cara beribadah dalam
Islam adalah ditentukan oleh Rasulullah SAW.
4.
Toleransi hanya dibenarkan
dalam bidang sosial kemasyarakatan,hubungan antar umat manusia (muamalah).
5.
Kebebasan bagi siapapun
untuk memeluk agama apapun yang menjadi keyakinannya.
Bisa diambil 2 kata kunci dalam kandungan QS. Al-Kafirun
tentang toleransi,yaitu "kebebasan" dan "batasan". Kata kunci
"kebebasan" terurai jadi kebebasan memilih aqidah dan kebebasan untuk
beribadah sesuai aqidah yag telah dipilihnya. Keduanya punya hubungan yang
lurus. Yang 1 membatasi yang lain. Artinya,manusia hanya benar-benar bebas
dalam hal memilih aqidah atau agama,setelah itu ia harus beribadah sesuai
agamanya pilihannya itu. Kebebasan beribadah tidak bisa dimaknai secara
internal atau beribadah dengan caranya sendiri. Contoh: Islam mengajarkan
shalat 5 waktu, tidak bisa ditawar jadi 3 waktu. Kebebasan beribadah hanya
dalam hubungan eksternal atau hubungan dengan pemeluk agama lain. Setiap muslim
harus toleransi terhadap pemeluk agama lain untuk beribadah sesuai agamanya.
Inilah yag dimaksud kata kunci "batasan",bahwa sikap toleransi
seorang muslim hanya menyangkut hubungan sosial antar manusia dan ibadah dalam
arti eksternal.
v Wujud Pengamalan Qs Al-Kafiruun
Berdasarkan latar belakang turunnya dan kandungan QS.
AL-KAFIRUUN diatas,bisa ditarik beberapa bentuk pengamalan dala keseharian
dengan :
1.
Memiliki keyakinan yang kuat
akan kebenaran agama Islam.
2.
Tidak mencampuradukkan
perkara aqidah dan ibadah.
3.
Bertauhid pada Allah dan
menjauhi perbuatan syirik.
4.
Beribadah dengan ikhlas
dan benar sesuai tuntunan Rasulullah.
5.
Menghormati pemeluk agama
laim dan tidak memaksakan agama pada orang lain.
6.
Memberi kebebasan untuk
memeluk suatu agama.
2.4.2
Qs. Yunus(10) ayat 40-41
Surat Yunus ayat 40-41 ini
menjelaskan tentang sikap terhadap orang yang berbeda pendapat.
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
وَمِنْهُمْ مَنْ
يُؤْمِنُ بِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ لاَ يُؤْمِنُ بِهِ وَرَبُّكَ أَعْلَمُ
بِالْمُفْسِدِيْنَ (٤٠) وَإِنْ كَذَّبُوْكَ فَقُلْ لِيْ عَمَلِيْ وَلَكُمْ
عَمَلُكُمْ أَنْتُمْ بَرِيْئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيْءٌ مِمَّا
تَعْمَلُوْنَ (٤١)
Artinya
:
Di
antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada Al Qur’an, dan di antaranya
ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Tuhanmu lebih mengetahui
tentang orang-orang yang berbuat kerusakan. Jika mereka mendustakan kamu, maka
katakanlah: “Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri
terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu
kerjakan”. ( QS Yunus 40-41 ).
v Kesimpulan
Surat Yunus ayat 40-41
1.
Umat manusia yang hidup setelah diutusnya nabi
muhammad saw terbagi menjadi 2 golongan, ada umat yang beriman terhadap
kebenaran kerasulan dan kitab suci yang disampaikannya dan ada pula golongan
orang yang mendustakan kebenaran kerasulan nabi muhammad dan tidak beriman
kepada Al-qur’an.
2.
Allah maha mengetahui sikap dan perilaku
orang-orang beriman yang selama hidup di dunia senantiasa bertaqwa kepada-Nya,
begitu juga orang kafir yang tidak beriman kepada-Nya.
3.
Orang beriman harus tegas dan berpendirian
teguh dan yakin bahwa nabi muhammad betul-betul rasul Allah swt yang terakhir
dan al-qur’an merupakan kitab yang berisi firman Allah swt
2.4.3
Qs. Surah
Al-Kahfi Ayat 29
وَقُلِالْحَقُّمِنرَّبِّكُمْفَمَنشَاءفَلْيُؤْمِنوَمَنشَاءفَلْيَكْفُرْإِنَّاأَعْتَدْنَالِلظَّالِمِينَنَاراًأَحَاطَبِهِمْسُرَادِقُهَا
وَإِنيَسْتَغِيثُوايُغَاثُوابِمَاءكَالْمُهْلِيَشْوِيالْوُجُوهَبِئْسَالشَّرَابُوَسَاءتْمُرْتَفَقا
وَإِنيَسْتَغِيثُوايُغَاثُوابِمَاءكَالْمُهْلِيَشْوِيالْوُجُوهَبِئْسَالشَّرَابُوَسَاءتْمُرْتَفَقا
Artinya:
Dan
katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim
itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum,
niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang
paling jelek”.
v Asababun Nuzul QS. Al Kahfi ayat 29
Ibnu
Jarir mengetengahkan sebuah hadis melalui Dhahhak. Hadis yang sama
diketengahkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui sahabat Ibnu Abbas r.a. yang
menceritakan, bahwa Nabi saw. mengucapkan suatu sumpah. Kemudian empat puluh
malam selanjutnya Allah menurunkan firman-Nya, “Dan jangan sekali-kali kamu
mengatakan terhadap sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok
pagi’, kecuali dengan menyebut ‘Insya Allah’”. (Q.S. Al Kahfi 28-34).
Sahabat
Ibnu Abbas r.a. mengatakan, “Ayat di atas diturunkan berkenaan dengan Umayah
ibnu Khalaf Al Jumahiy. Demikian itu karena Umayah menganjurkan supaya Nabi
saw. mengerjakan suatu perbuatan yang tidak disukai oleh Nabi sendiri, yaitu
mengusir orang-orang miskin yang menjadi pengikutnya dari sisinya, demi untuk
mendekatkan akan pemimpin-pemimpin Mekah kepada dirinya. Setelah peristiwa itu,
turunlah ayat di atas tadi.”
Ibnu Abu
Hatim mengetengahkan sebuah hadis melalui Ar Rabi’ yang menceritakan, bahwa
Nabi saw. pernah bercerita kepada kami bahwa pada suatu hari beliau bertemu
dengan Umayah ibnu Khalaf yang membujuknya, sedangkan Nabi saw. pada saat itu
dalam keadaan tidak memperhatikan apa yang dimaksud oleh Umayah; maka turunlah
ayat di atas tadi. Ibnu Abu Hatim mengetengahkan pula hadis lain melalui
sahabat Abu Hurairah r.a. yang menceritakan, bahwa pada suatu hari Uyainah ibnu
Hishn datang kepada Nabi saw. sedang sahabat Salman berada di sisinya. Maka
Uyainah langsung berkata, “Jika kami datang maka singkirkanlah orang ini,
kemudian persilakanlah kami masuk”. Maka turunlah ayat di atas
Tentang Pemuda Al-Kahfi
Ashabul
Kahfi, pemuda kahfi, adalah nama sekelompok orang beriman yang hidup pada masa
Raja Diqyanus di Romawi, beberapa ratus tahun sebelum diutusnya nabi Isa as.
Mereka hidup ditengah masyarakat penyembah berhala dengan seorang raja yang
dzalim. Ketika sang raja mengetahui ada sekelompok orang yang tidak menyembah
berhala, maka sang raja marah lalu memanggil mereka dan memerintahkan mereka
untuk mengikuti kepercayaan sang raja.
Tapi
Ashabul Kahfi menolak dan lari, dikejarlah mereka untuk dibunuh.
Ketika mereka lari dari kejaran pasukan raja, sampailah mereka di mulut sebuah gua yang kemudian dipakai tempat persembunyian. Dengan izin Allah mereka kemudian ditidurkan selama 309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali ketika masyarakat dan raja mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja yang beriman kepada Allah SWT (Ibnu Katsir; Tafsir al-Quran al-’Adzim; jilid:3 ; hal.67-71).
Ketika mereka lari dari kejaran pasukan raja, sampailah mereka di mulut sebuah gua yang kemudian dipakai tempat persembunyian. Dengan izin Allah mereka kemudian ditidurkan selama 309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali ketika masyarakat dan raja mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja yang beriman kepada Allah SWT (Ibnu Katsir; Tafsir al-Quran al-’Adzim; jilid:3 ; hal.67-71).
v Isi Pokok Kandungan QS. Al Kafirun
Surat Al-Kahfi merupakan surat yang ke 18, 15 dan 16, terdiri
dari 110 ayat, merupakan ayat Makkiyah, kecuali ayat 28, 82 sampai dengan
ayat 101 surat Madaniyah, di turunkan sesudah surat Al-Ghasiyah. Ayat ini
menjelaskan bahwa; Rasulullah SAW di perintah oleh Allah SWT untuk
mengatakan kepada manusia, bahwa apa yang di sampaikan kepada mereka dari Tuhan
mereka adalah perkara yang hak yang tiada kebimbangan dan tiada keraguan.
Ayat ini sesungguhnya bukanlah ayat tentang toleransi, atau
justifikasi kebebasan beragama. Kalimat “Maka Barangsiapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan Barang siapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”.
mengandung ancaman dan peringatan yang keras kepada mereka yang tidak mau
beriman. Karena kalimat selanjutnya “sesungguhnya Kami telah sediakan bagi
orang-orang yang dholim itu neraka yang gejolaknya mengepung mereka”
Yang di maksud dengan orang-orang yang dholim itu adalah
orang-orang yang ingkar kepada Allah, Rasul-Nya dan Kitab-Nya. Allah SWT telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, dengan potensi yang
paling sempurna. Tafsir Ayat Al-Qur’an Surat Al-Kahfi/18: 29 secara umum
mengisyarahkan bahwa umat Islam harus berani menyatakan sikap secara tegas
dalam hal kebenaran. Kita dibolehkan untuk mengakui kebathilan itu memang ada
di dunia ini, tetapai bukan berarti mengakui dan menyetujui bahwa yang batil
itu adalah benar. Yang benar harus tetap diposisikan sebagai kebenaran begitu
juga sebaliknya. Antara kenenaran dan kebatilan tidak boleh dicampur-adukkan.
Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya: “dan janganlah kamu campur
adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak
itu, sedang kamu mengetahui”. (Q.S Al-Baqarah/2: 42).
Dan Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka
Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang
ingin (kafir) Biarlah ia kafir”. (QS Al-Kahfi/18: 29)
Ada tiga pandangan para mufassir dalam memahami Frase dari ayat di
atas; pertama Menurut Ibn Abbas ayat ini menunjukkan kebebasan dalam menerima
atau menolak ajaran agama. Kedua, menurut Az-Zujjaj ayat ini merupakan ancaman
dan peringatan bukan perintah bebas memilih. Ketiga Al-Mawardi ayat ini
menjelaskan bahwa keberadaan manusia menerima atau menolak agama Islam bagi
Allah Swt. tidak ada pengaruhnya, keimanan mereka tidak akan memberikan manfaat
bagi-Nya begitu juga kekafiran mereka juga tidak akan mencelakakan-Nya.
Menurut penulis dalam memahami Frase dari ayat di atas adalah bahwa
kebenaran ajaran agama Islam searusnya diimani dengan diikrarkan di dalam hati,
dinyatakan melalui lisan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi
bagi Allah Swt. pada dasarnya Dia tidak memaksa dalam soal agama (Q.S.
Al-Baqarah/2: 256), maka bebas saja bagi setiap manusia untuk memilih jalan
iman atau kafir.
Allah Swt. hanya memberikan pilihan-pilihan, ada pilihan yang baik
dan ada juga pilihan yang buruk. Lalu Dia berikan petunjuk-Nya melalui
utusan-utusan-Nya di muka bumi selanjutnya manusia diwajibkan untuk melakukan
ikhtiyar yakni berusaha memilih di antara pilihan-pilihan takdir yang sudah
Allah Swt. tetapkan tersebut. Siapa yang memilih kebaikan lalu dibuktikannya
dengan perbuatannya, maka sebesar apapun kebaikannya akan diperlihatkannya,
begitu sebaliknya sekecil apapun perbuatan buruk juga akan diperlihatkan
kepadanya,
Dalam QS.
Al-Kahfi ayat 29 diterangkan pula bahwa siapa saja yang ingin beriman maka
hendaklah ia beriman. Namun, jika seseorang memilih untuk tidak beriman maka
itu pilihan seseorang yang tidak boleh dipaksakan. Sebenarnya makna ayat ini
adalah perintah kepada nabi Muhammad SAW untuk memberikan peringatan kepada
orang-orang yang lalai dan mengikuti hawa nafsunya. Bahwa sesungguhnya
kebenaran adalah dari Allah dan kesesatan pula ada di dalam kekuasaan-Nya.
Siapa saja yang ingin beriman maka hendaklah ia beriman dan siapa saja yang
ingin dalam kesesatan maka hendaklah ia kufur.
v Wujud Pengamalan Qs Al-Kahfi ayat
29
Orang yang mengamalkan ayat ini adalah orang
yang berpegang teguh terhadap nilai-nilai agama yang telah ditetapkan oleh
Allah SWT. Mereka tetap beriman dan berpegang teguh terhadap aturan Allah
walaupun godaan dan rayuan untuk melepaskan keyakinan datang silih berganti.
Karena mereka menyadari bahwa keputusan yang diambil pasti akan menerima
konsekuensi dari apa yang dipilihnya. Keimanan yang diambil akan mendapatkan
ridho Allah, begitu pula kekufuran yang diambil akan mendapatkan ganjarannya.
Selain itu, Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa
toleransi dalam Islam dibangun diatas beberapa landasan
pokok, yaitu:
a.
prinsip tentang kemuliaan manusia betapapun beragamnya kehidupan mereka. Allah
menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
ولقد
كرمنا بنى ادم وحملناهم فى البر والبحر ورزقناهم من الطيبات وفضلناهم على كثير ممن
خلقنا تفضيلا (الاسراء: 70)
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di darat dan di lautanKami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di darat dan di lautanKami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”
b.
Umat Islam meyakini bahwa mereka tidak bertanggungjawab terhadap jalan hidup
yang dipilih oleh umat-umat lain. Kewajiban mereka hanya berdakwah, sementara
pilihan antara iman atau tidak adalah urusan masing-masing pihak dengan Allah
SWT.
Allah
SWT berfirman:
فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر (الكهف: 29) “maka
siapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan siapa yang ingin (kafir),
biarlah ia kafir…”
c.
prinsip tentang keadilan, selama pihak lain berlaku sama.
Allah
SWT berfirman:
ولا يجرمنكم شنان قوم على الآتعدلوا اعدلوا هو
اقرب للتقوى (المائدة: 8)“…
“Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa….”
Apa yang disebutkan oleh Yusuf al-Qaradhawi
diatas, pada hakikatnya merupakan penegasan bahwa ajaran Islam tentang
toleransi tidak dibangun diatas landasan yang rapuh, sebaliknya pada
ajaran-ajaran fundamental yang masing-masing saling terkait. Satu hal yang
agaknya dapat melengkapi dasar-dasar diatas adalah bahwa parameter yang
digunakan Islam dalam menilai sesuatu adalah parameter keruhanian (ketakwaan),
bukan parameter fisik atau keduniaan.Hal ini terlihat pada kesan yang ditimbulkan
oleh ayat dan hadis yang berbicara tentang kesetaran dan persamaan hak dan
kewajiban secara umum.
2.5
Contoh Perilaku Toleransi
Dalam Islam
Pintu-pintu
toleransi banyak sekali dan contoh-contohnya berbilang serta jalan-jalannya
beragam hingga sulit menghitung detailnya dalam waktu singkat. Cukup bagimu
sebagai dalil, bahwa toleransi mencakup Islam baik dari segi aqidah, ibadah,
budi pekerti maupun pendidikan, bukanlah Islam itu agama yang lurus dan penuh
toleransi?
Berikut ini adalah sebagian contoh toleransi
dalam Islam:
a.
Toleransi
terhadap sesama muslim
Merupakan suatu kewajiban, karena di samping sebagai tuntutan
sosial juga merupakan wujud persaudaraan yang terikat oleh tali aqidah yang
sama. Bahkan dalam hadits nabi dijelaskan bahwa seseorang tidak sempurna
imannya jika tidak memiliki rasa kasih sayang dan tenggang rasa terhadap
saudaranya yang lain. “Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu, sehingga
mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. ” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sikap toleran dan baik hati terhadap sesame terlebih lagi dia
seorang muslim pada akhirnya akan membias kembali kepada kita yaitu banyak
memperoleh kemudahan dan peluang hidup karena adanya relasi, disamping itu
Allah akan membalas semua kebaikan kita di akhirat kelak.
b.
Adapun
toleransi terhadap non muslim
Mempunyai batasan tertentu selama mereka mau menghargai kita, dan
tidak mengusir kita dari kampung halaman. Mereka pun harus kita hargai karena
pada dasarnya sama sebagai makhluk Allah SWT. Bersikap tasamuh bukan berarti
kita toleran terhadap sesuatu secara membabi buta tanpa memiliki pendirian,
tetapi harus diba-rengi dengan suatu prinsip yang adil dan membela kebenaran.
Kita tetap harus tegas dan adil jika dihadapkan pada suatu masalah baik
menyangkut diri sendiri, keluarga ataupun orang lain. Walaupun keputusan
tersebut akan berakibat pahit pada diri sendiri. Dalam ajaran islam keadilan
ditegakkan tanpa memandang bulu baik rakyat jelata maupun raja harus tunduk
kepada hukum dan ajaran Allah SWT. Jika ia melanggar harus menerima segala
konsekwensinya.
Bentuk- bentuk
tasamuh dalam kehidupan bermasyarakat, antara lain :
1. Tidak
menggangu ketenangan tetangga, Rasulullah SAW bersabda :
Demi Allah tidak beriman, Demi Allah tidak beriman, Demi Allah
tidak beriman,. Saat itu beliau ditanya “ Ya Rasullah siapakah yang tidak
beriman itu “Rasulullah saw Bersabda ‘ (yakni) orang yang tetangganya tidak
merasa nyaman karena gangguannya. (H.R. Bukhori). Hadits ini menjelaskan bahwa
pengakuan iman seseorang tidak sempurna apabila masih suka menganggu ketenagan
tenangganya, baik dengan ucapan yang jelek maupun perbuatan.
2. Tidak melarang
tetangga apabila ingin
Memanam pohon dibatas kebunnya Rasulullah saw Bersabda yang artinya
: “Janganlah seorang tetangga melarang tetangganya apabila ia ingin menanam
pohon dibatas kebunnya”. (H.R. Bukhari)
3. Menyukai
sesuatu untuk tetangganya, sebagaimana ia suka untuk dirinya sendiri.
Artinya : Demi Dzat yang aku berada di dalam kekuasannya, tidaklah
seorang beriman sehingga ia menyukai buat tetangganya atau saudara sesuatu yang
ia sukai buat dirinya sendiri (H.R. Muslim).
c.
Toleransi Dalam Jual Beli dan Hukum-Hukumya.
Allah Ta'ala
berfirman yang artinya: Dan Syu'aib berkata: 'Hai kaumku,
cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil dan janganlah kamu merugikan
manusia terhadap hak-hak mereka..." [Hud : 85]
Allah Yang Maha
Mulia juga berfirman yang artinya: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang
curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka
minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain,
mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya
mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar yaitu hari ketika manusia
berdiri menghadap Tuhan semesta alam ?" [Al-Muthaffifin : 1-6]
Rasulullah SAW
bersabda yang artinya: “Allah telah mengampuni seorang lelaki dari kalangan
umat sebelum kalian dulu, dia mudah bila menjual, mudah bila membeli dan mudah
bila memutuskan" [Hadits Riwayat Tirmidzi 1320, Ahmad 3/340 dari hadits
Jabir Radliyallahu anhu dan dishahihkan oleh Syaikh kami (Al-Albani) dalam
Shahihul Jami' 4038]
Beliau juga
bersabda. "Artinya: Sesunguhnya Allah mencintai jual-beli dan keputusan
yang mudah" [Hadits Riwayat Tirmidzi 1319 Al-Hakim 2/56 dengan dua jalan
dari Abu Hurairah dan dishahihkan oleh Syaikh kami (Al-Albani) dalam Shahihul
Jami 1884]
Lafadh
"samhun" artinya "sahlun" yakni mudah, dia adalah sifat
musyabbahah yang menunjukkan penetapan, oleh sebab itu, Rasulullah SAW
mengulangi keadaan jual-beli dan keputusan hukum. Hal ini menunjukkan sikap
mempermudah dalam hubungan sosial dan membuang sikap kikir serta memberikan
hak-hak menusia dengan segera (tidak terlambat).
Termasuk
keindahan keputusan hukum adalah bahwa orang yang meminjam sesuatu lalu
mengembalikannya dengan yang lebih baik atau lebih banyak dengan tanpa syarat
adalah orang yang berbuat baik, dan hal ini halal bagi pihak yang meminjamkan.
Dari Abu
Hurairah RA dia menceritakan. "Dahulu ada seorang lelaki yang meminjami
Nabi SAW unta berumur setahun, lalu dia datang kepada beliau menagihnya. Beliaupun
memerintahkan: "Berikan kepadanya!" Maka para shahabat
mencarikan unta yang sama denganya, namun mereka tidak mendapatkan kecuali unta
yang lebih bagus daripadanya, beliaupun berkata: "Berikan unta itu
kepadanya!" Lelaki itupun berkata: "Engkau telah menepatiku
mudah-mudahan Allah menepatimu".
Rasulullah SAW
bersabda. "Artinya : Sesungguhnya orang yang paling baik diantara kalian
adalah orang yang paling bagus keputusannya" [Hadits Riwayat Bukhari
4/482-483, 5/56-58, 22-227- Al-Fath dan Muslim 11/38 - Nawawi].
d.
Toleransi Dalam Hutang dan Tagihan.
Allah yang Maha Agung berfirman. "Artinya:
Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka beri tangguhlah sampai dia
berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang itu) labih baik
bagimu, jika kamu mengetahui" [Al-Baqarah : 280].
Sungguh peletak syari'ah (Allah) yang Maha
Hikmah telah menghasung untuk memberi tangguh orang yang kesulitan hutang dan
memberikan keistimewaan agung sebagaimana yang akan dijelaskan dalam pasal
'Keutamaan Toleransi", cukuplah bagimu untuk sekedar tahu, bahwa memberi
tangguh orang yang kesukaran dan mema'afkannya termasuk penghapus dosa dan sebab
Allah mema'afkan kesalahan-kesalahannya.
Rasulullah SAW bersabda. "Artinya: Dahulu
ada seorang saudagar yang biasa menghutangi orang, bila dia melihat orang yang
kesukaran (dalam membayar hutang), maka dia memerintahkan para pegawainya:
"Ma'afkanlah dia mudah-mudahan Allah mema'afkan kita!" Maka Allah-pun
mema'afkan dia..." [Hadits Riwayat Bukhari 4/309- Al-Fath]
Termasuk cara menagih yang bagus adalah toleran
dalam menagih, menerima kekurangan sedikit yang ada padanya. Menuntutnya dengan
mudah, tidak menjilat (rentenir, -pent), tidak mempersulit orang dan mema'afkan
mereka mudah-mudahan Allah merahmati kita. Beliau Nabi SAW bersabda.
"Artinya: Mudah-mudahan Allah merahmati lelaki yang toleran bila menjual,
membeli dan menagih" [Hadits Riwayat Bukhari 4/206 -Al-Fath]
e.
Toleransi Dengan Ilmu.
Toleransi
dengan ilmu di sini yaitu dengan cara menyebarkan ilmu dan ini termasuk pintu
toleransi yang paling utama dan lebih baik daripada toleransi dengan harta,
sebab ilmu lebih mulia daripada harta.
Maka seyogyanya
seorang alim menyebarkan ilmu kepada setiap orang yang bertanya tentangnya
bahkan mengeluarkannya secara keseluruhan, bila ia ditanya tentang suatu
masalah. Maka dia memperinci jawabannya dengan perincian yang memuaskan dan
menyebutkan sisi-sisi dalilnya, dia tidak cukup menjawab pertanyaan si penanya,
namun dia menyebutkan contoh kasus serupa dengan kaitan-kaitannya serta
faedah-faedah yang dapat memuaskan dan mencukupinya.
Para sahabat
yang mulia Radliyallahu 'anhum pernah bertanya kepada Nabi SAW tentang orang
yang berwudlu dengan air laut, maka beliau menjawab. "Artinya: Laut itu
suci airnya lagi halal bangkainya" [Hadits Riwayat Ashabus Sunan dan
Malik, lihat takhrijnya secara rinci dalam Ash-Shahihah 480]. Beliau menjawab
pertanyaan mereka dan memberikan kepada mereka ketarangan tambahan yang mungkin
sewaktu- waktu lebih mereka butuhkab daripada apa yang mereka pertanyakan.
f.
Toleransi Dengan Kehormatan.
Toleransi ini
menunjukkan keselamatan hati, ketenangan jiwa dan kebersihan hati dari rasa
permusuhan. Dahulu, Abu Bakar Ash-Shiddiq Radliyallahu anhu memberi uang
belanja kepada Misthoh bin Utsatsah karena hubungan famili dan kefakirannya.
Tatkala Misthoh binasa bersama orang yang binasa dari kalangan ashabul
ifki (pembuat berita dusta), lalu dia tenggelam bersama orang yang tenggelam
menuduh As-Sayyidah Aisyah Radliyallahu 'anha berbuat mesum, maka Abu Bakar
Ash- Shiddiq Radliyallahu bersumpah tidak akan memberi uang belanja kepada
Misthoh. Ash-Shiddiq ditegur, beliaupun bershodaqoh dengan kehormatannya walau
dosa Misthoh sedemikian besar.
Sungguh indah
ucapan penyair. "Sesungguhnya kadar dosa Misthoh dapat meruntuhkan bintang-bintang
dari ufuknya. Sungguh telah terjadi apa yang terjadi Ash-Shiddiq ditegur
tentang haknya (Si Misthoh) Biarlah, wahai pembaca!" Ummul
Mukminin As-Sayyidah Aisyah Radliyallahu anha yang memberi tahu kita tentang
kejelasan ini ; beliau mengisahkan: " ....Maka Allah menurunkan (ayat)
tentang kesucianku"
Abu Bakr
Ash-Shiddiq Radliyallahu 'anhu pun menyatakan: Dan dia dulunya memberi wang
belanja kepada Misthoh bin Utsatsah karena kefamilian dan kefakirannya "
Demi Allah! Aku tidak akan memberi wang belanja sedikit pun kepada si Misthoh
selamanya setelah tuduhannya kepada Aisyah" maka Allah menurunkan (ayat).
"Artinya: Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan
kelapangan diantara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan)
kepada kaum kerabatnya, orang-orang miskin dan orang-orang berhijrah di jalan
Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak
ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang" [An-Nur : 22]
Abu Bakr
mengatakan: "Ya ! Demi Allah sungguh aku suka Allah mengampuniku"
beliaupun kembali membantu Misthoh seperti sebelumnya, dan menyatakan:
"Demi Allah aku tidak akan mencabutnya dari dia selamanya" [Hadits
Riwayat Bukhari 8/455- Fath dan Muslim 17/113-Nawawi]
g.
Toleransi Dengan Kesabaran dan Menanggung
Beban.
Hal ini
termasuk bab toleransi yang paling banyak manfaatnya, tidak ada yang mampu
bersikap seperti ini kecuali orang yang berjiwa besar. Barangsiapa yang sulit
bertoleransi dengan harta benda, maka dia harus memiliki kemuliaan dan
kedermawanan model ini, sebab ia dapat menghasilkan buah yang akibatnya terpuji
di dunia sebelum akhirat nanti.
Allah Ta'ala
berfirman. "Artinya : Lemah lembut terhadap kaum mukminin" [Al-Maidah
: 54] Maksudnya, sikap mereka lembut dan lunak kepada saudara mereka kaum
mukminin, namun dia tidak menghinakan dirinya.
Allah yang Maha
Mulia berfirman. "Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang
yang mengikutimu dari kalangan orang-orang yang beriman" [Asy- Syu'ara :
215] Maksudnya, hendaklah engkau bersikap lemah lembut, sebab: "Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu..." [Ali Imran: 159].
Nabi SAW
bersabda. "Artinya: Kaum mukminin adalah orang yang lemah lembut dan
lunak, seperti halnya onta jinak bila diikat dia terikat, bila dituntun dia
tertuntun dan bila engkau menambatkannya pada sebuah batu maka diapun
tertambat" [Lihat Ash-Shahihah: 936]
Rasulullah SAW
menyerupakan seorang mukmin seperti unta jinak yang tidak pernah menolak
penuntunnya dalam perkara apapun, dia menanggung beban dengan kesabaran bukan
karena kebodohan dan kedunguan, namun karena sifat kemuliaan, budi pekerti yang
luhur dan kedermawanan karena seorang mukmin adalah orang yang mulia sedangkan
orang jahat (fajir) adalah orang yang jelek lagi penipu. Nabi SAW sendiri
diserupakan seperti di atas, kemana pun beliau dibawa belaiu ikut.
Dari Anas bin
Malik Radliyallahu 'anhu dia menceritakan: "Sungguh ada seorang budak
wanita dari Madinah 'mengambil tangan' Nabi SAW, lalu ia mengajak beliau
sekehendaknya" [Dikeluarkan oleh Bukhari 10/489 secara mu'allaq dan disambungkan
oleh Ahmad 3/98, dia memiliki jalan lain dari Anas semisalnya, dikeluarkan oleh
Ibnu Majah 4177 dan Ahmad 3/174, 215, 216 padanya terdapat Ali bin Zaid bin
Jad'an dia lemah namun dapat dijadikan penguat]
Al-Hafidh Ibnu
Hajar Rahimahullah menjelaskan: "Yang dimaksud dengan 'mengambil tangan'
adalah makna tersiratnya yaitu lemah lembut dan tunduk/patuh ... Ungkapan
'mengambil tangan' mengisyaratkan puncak perlakuan walaupun keperluan budak
tadi hingga di luar kota Madinah dan memerlukan bantuan beliau niscaya beliau
membantunya. Ini semua menunjukkan kelebihan sikap tawdlu' beliau dan bersihnya
beliau dari segenap kesombongan." [Fathul Bari 10/490].
2.6
Manfaat Toleransi Hidup Beragama Dalam Pandangan
Islam
1.
Menghindari Terjadinya Perpecahan
Bersikap toleran merupakan solusi agar tidak
terjadi perpecahan dalam mengamalkan agama. Sikap bertoleransi harus menjadi
suatu kesadaran pribadi yang selalu dibiasakan dalam wujud interaksi sosial.
Toleransi dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya dengan eksisnya
berbagai agama samawi maupun agama ardli dalam kehidupan umat manusia ini.
Dalam kaitanya ini Allah telah mengingatkan
kepada umat manusia dengan pesan yang bersifat universal, berikut firman Allah
SWT:
“Dia telah mensyari’atkan
bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang
telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka
kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada -Nya orang yang kembali.”(As-Syuro:13)
”Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai
berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa
Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah
kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di
tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
(Al-Imran:103)
Pesan universal ini merupakan pesan kepada
segenap umat manusia tidak terkecuali, yang intinya dalam menjalankan agama
harus menjauhi perpecahan antar umat beragama maupun sesama umat beragama.
2.
Memperkokoh Silaturahmi dan Menerima Perbedaan
Salah satu wujud dari toleransi hidup beragama
adalah menjalin dan memperkokoh tali silaturahmi antarumat beragama dan menjaga
hubungan yang baik dengan manusia lainnya. Pada umumnya, manusia tidak dapat
menerima perbedaan antara sesamanya, perbedaan dijadikan alasan untuk
bertentangan satu sama lainnya. Perbedaan agama merupakan salah satu faktor
penyebab utama adanya konflik antar sesama manusia.
Merajut hubungan damai antar penganut agama
hanya bisa dimungkinkan jika masing-masing pihak menghargai pihak lain.
Mengembangkan sikap toleransi beragama, bahwa setiap penganut agama boleh
menjalankan ajaran dan ritual agamanya dengan bebas dan tanpa tekanan. Oleh
karena itu, hendaknya toleransi beragama kita jadikan kekuatan untuk
memperkokoh silaturahmi dan menerima adanya perbedaan. Dengan ini, akan
terwujud perdamaian, ketentraman, dan kesejahteraan.
Dampak positif
perilaku tasamuh dalam kehidupan bermasyarakat
·
Memuaskan batin
orang lain karena dapat mengambil haknya sebagaimana mestinya.
·
Kepuasan batin
yang tercermin dalam raut wajahnya menjadikan semakin eratnya hubungan
persaudaraan dengan orang lain.
·
Eratnya
hubungan baik dengan orang lain dapat memperlancar terwujudnya kerjasama yang
baik dalam kehidupan bermasyarakat.
·
Dapat
memperluas kesempatan untuk memperoleh rezeki karena banyak relasi.
BAB IIi
PEnutup
3.1
Kesimpulan
Toleransi dalam Islam adalah otentik. Artinya tidak asing lagi dan
bahkan mengeksistensi sejak Islam itu ada. Karena sifatnya yang organik, maka
toleransi di dalam Islam hanyalah persoalan implementasi dan komitmen untuk
mempraktikkannya secara konsisten.
Namun, toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling
melebur dalam keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara
kelompok-kelompok agama yang berbeda itu. Toleransi di sini adalah dalam
pengertian mu’amalah (interaksi sosial). Jadi, ada batas-batas bersama yang
boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-masing
pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati
keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-haknya.
Syari’ah telah menjamin bahwa tidak ada paksaan dalam agama.
Karena pemaksaan kehendak kepada orang lain untuk mengikuti agama kita adalah
sikap a historis, yang tidak ada dasar dan contohnya di dalam sejarah Islam
awal. Justru dengan sikap toleran yang amat indah inilah, sejarah peradaban
Islam telah menghasilkan kegemilangan sehingga dicatat dalam tinta emas oleh
sejarah peradaban dunia hingga hari ini dan insyaallah di masa depan.
3.2
Saran
Menurut kami, pelajaran toleransi
ini sebaiknya diajarkan sejak dini, tetapi diajarkannya harus seusai syari’at
Islam. Karena masih banyak masyarakat sekarang bersikap toleransi namun
bertentangan dengan syarri’at Islam dan mereka menganggap hal itu boleh-boleh
saja, padahal pada kenyataanya itu dilarang dalam Islam. Seperti mengucapkan
“Selamat Natal” padahal dalam Islamm itu tidak dibenarkan.
Daftar
Pustaka
No comments:
Post a Comment