Thursday, October 15, 2015

Toleransi Dalam Agama Islam

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Toleransi (Arab: as-samahah) adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Toleransi, karena itu, merupakan konsep agung dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama, termasuk agama Islam.
Dalam konteks toleransi antar-umat beragama, Islam memiliki konsep yang jelas. “Tidak ada paksaan dalam agama” , “Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami”  adalah contoh populer dari toleransi dalam Islam. Selain ayat-ayat itu, banyak ayat lain yang tersebar di berbagai Surah. Juga sejumlah hadis dan praktik toleransi dalam sejarah Islam. Fakta-fakta historis itu menunjukkan bahwa masalah toleransi dalam Islam bukanlah konsep asing. Toleransi adalah bagian integral dari Islam itu sendiri yang detail-detailnya kemudian dirumuskan oleh para ulama dalam karya-karya tafsir mereka. Kemudian rumusan-rumusan ini disempurnakan oleh para ulama dengan pengayaan-pengayaan baru sehingga akhirnya menjadi praktik kesejarahan dalam masyarakat Islam.
Kemunduran dunia Islam yang masih terus berlangsung hingga saat ini, tidak dapat dipungkiri, telah berdampak negatif terhadap kondisi umat Islam secara internasional. Kaum muslim di berbagai belahan dunia terus menjadi bulan-bulanan para musuh Islam (baca: jaringan Zionis internasional dan Barat), tanpa mampu memberikan perlawanan yang berarti. Meski sejak paruh terakhir abad keduapuluh penetrasi secara fisik (militer) terhadap wilayah-wilayah Islam telah banyak menurun intensitasnya, namun tidak berarti umat Islam dapat bernapas lega.Ini dikarenakan para musuh Islam telah menyiapkan bentuk-bentuk penjajahan baru (new imperialism) yang efeknya tidak kalah mengerikan dari peperangan secara fisik. Hegemoni di bidang ekonomi, politik, budaya, dan pemikiran, yang terus dibangun oleh para penentang Islam tersebut, hanyalah sebagian, untuk sekedar menyebut contoh, dari bentuk-bentuk konspirasi mutakhir untuk tetap memposisikan kaum muslim sebagai pihak yang inferior.
Menurut ajaran Islam, toleransi bukan saja terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam semesta, binatang, dan lingkungan hidup.  Dengan makna toleransi yang luas semacam ini, maka toleransi antar-umat beragama dalam Islam memperoleh perhatian penting dan serius. Apalagi toleransi beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi keyakinan manusia terhadap Allah. Ia begitu sensitif, primordial, dan mudah membakar konflik sehingga menyedot perhatian besar dari Islam. Makalah berikut akan mengulas pandangan Islam tentang toleransi. Ulasan ini dilakukan baik pada tingkat paradigma, doktrin, teori maupun praktik toleransi dalam kehidupan manusia.

1.2        Rumusan Masalah
1.        Pengertian Toleransi.
2.        Konsep toleransi dalam Islam.
3.        Toleransi dalam praktik sejarah agama Islam.
4.        Dasar Pemikiran dan Batasan Toleransi menurut Al-Quran dan Sunnah.
5.        Contoh perilaku toleransi dalam Islam.
6.        Manfaat Toleransi Hidup Beragama Dalam Pandangan Islam.










BAB II

PEMBAHASAN

2.1         Pengertian Toleransi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata toleransi berarti sifat atau sikap toleran. Kata toleran sendiri didefinisikan sebagai “bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Kata toleransi sebenarnya bukanlah bahasa “asli” Indonesia, tetapi serapan dari bahasa Inggris “tolerance”, yang definisinya juga tidak jauh berbeda dengan kata toleransi/toleran. Menurut Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English, toleransi adalah quality of tolerating opinions, beliefs, customs, behaviors, etc, different from one’s own. Lebih lanjut menurut Abdul Malik Salman, kata tolerance sendiri berasal dari bahasa latin “tolerare” yang berarti “berusaha untuk tetap bertahan hidup, tinggal, atau berinteraksi dengan sesuatu yang sebenarnya tidak disukai atau disenangi. Dengan demikian, pada awalnya dalam makna tolerance terkandung sikap keterpaksaan.
Adapun dalam bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan dari kata toleransi adalah سماحة atau تسامح. Kata ini pada dasarnya berarti al-jûd (kemuliaan),[7] atau sa’at al-shadr (lapang dada) dan tasâhul (ramah, suka memaafkan).[8] Makna ini selanjutnya berkembang menjadi sikap lapang dada/ terbuka (welcome) dalam menghadapi perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang mulia.[9] Dengan demikian, berbeda dengan kata tolerance yang mengandung nuansa keterpaksaan, maka kata tasâmuh memiliki keutamaan, karena melambangkan sikap yang bersumber pada kemuliaan diri (al-jûd wa al-karam) dan keikhlasan.
Jika dicermati dengan seksama, pemahaman tentang toleransi tidak dapat berdiri sendiri.Ia terkait erat dengan suatu realitas lain di alam yang merupakan penyebab langsung dari lahirnya toleransi. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Memahami toleransi an sich tidak akan ada artinya tanpa memahami realitas lain tersebut, yaitu kemajemukan (pluralisme; bahasa Arab: ta’addudiyyah). Dengan demikian, untuk dapat bertoleransi dengan baik, maka pemahaman terhadap pluralisme terlebih dahulu mutlak diperlukan.

2.2         Konsep Toleransi Dalam Islam

Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah “damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang demikian sering dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatal lil’lamîn” (agama yang mengayomi seluruh alam). Ini berarti bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin disamakan. Dalam al-Qur’an Allah berfirman yang artinya, “dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”   
Di bagian lain Allah mengingatkan, yang artinya: “Sesungguhnya ini adalah umatmu semua (wahai para rasul), yaitu umat yang tunggal, dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah olehmu sekalian akan Daku (saja).  Ayat ini menegaskan bahwa pada dasarnya umat manusia itu tunggal tapi kemudian mereka berpencar memilih keyakinannya masing-masing. Ini mengartikulasikan bahwa Islam memahami pilihan keyakinan mereka sekalipun Islam juga menjelaskan “sesungguhnya telah jelas antara yang benar dari yang bathil”.
Selanjutnya, di Surah Yunus Allah menandaskan lagi, yang artinya: “Katakan olehmu (ya Muhamad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun Rasulullah SAW atau common values) antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah!”  Ayat ini mengajak umat beragama (terutama Yahudi, Kristiani, dan Islam) menekankan persamaan dan menghindari perbedaan demi merengkuh rasa saling menghargai dan menghormati. Ayat ini juga mengajak untuk sama-sama menjunjung tinggi tawhid, yaitu sikap tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Jadi, ayat ini dengan amat jelas menyuguhkan suatu konsep toleransi antar-umat beragama yang didasari oleh kepentingan yang sama, yaitu ‘menjauhi konflik’.
Saling menghargai dalam iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat komprehensif. Konsekuensi dari prinsip ini adalah lahirnya spirit taqwa dalam beragama. Karena taqwa kepada Allah melahirkan rasa persaudaraan universal di antara umat manusia. Abu Ju’la  dengan amat menarik mengemukakan, “Semu makhluk adalah tanggungan Allah, dan yang paling dicintainya adalah yang paling bermanfaat bagi sesama tanggungannya”.
Selain itu, hadits Nabi tentang persaudaraan universal yang artinya “sayangilah orang yang ada di bumi maka akan sayang pula mereka yang di langit kepadamu”.  Persaudaran universal adalah bentuk dari toleransi yang diajarkan Islam. Persaudaraan ini menyebabkan terlindunginya hak-hak orang lain dan diterimanya perbedaan dalam suatu masyarakat Islam. Dalam persaudaraan universal juga terlibat konsep keadilan, perdamaian, dan kerja sama yang saling menguntungkan serta menegasikan semua keburukan.
Fakta historis toleransi juga dapat ditunjukkan melalui Piagam Madinah.  Piagam ini adalah satu contoh mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhamad SAW di Madinah. Di antara butir-butir yang menegaskan toleransi beragama adalah sikap saling menghormati di antara agama yang ada dan tidak saling menyakiti serta saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam Madinah. 
Sikap melindungi dan saling tolong-menolong tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan juga muncul dalam sejumlah Hadis dan praktik Nabi. Bahkan sikap ini dianggap sebagai bagian yang melibatkan Tuhan. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan  dalam Syu’ab al-Imam, karya seorang pemikir abad ke-11, al-Baihaqi, dikatakan: “Siapa yang membongkar aib orang lain di dunia ini, maka Allah (nanti) pasti akan membongkar aibnya di hari pembalasan”. 
Di sini, saling tolong-menolong di antara sesama umat manusia muncul dari pemahaman bahwa umat manusia adalah satu badan, dan kehilangan sifat kemanusiaannya bila mereka menyakiti satu sama lain. Tolong-menolong, sebagai bagian dari inti toleransi, menajdi prinsip yang sangat kuat di dalam Islam.
Namun, prinsip yang mengakar paling kuat dalam pemikiran Islam yang mendukung sebuah teologi toleransi adalah keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam di dalam diri semua manusia, dan kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah dari prinsip ini.
Dalam hal ini, al-Qur’an menyatakan yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu ke arah agama menurut cara (Alla); yang alamiah sesuai dengan pola pemberian (fitrah) Allah, atas dasar mana Dia menciptakan manusia…” 
Mufassir Baidhawi terhadap ayat di atas menegaskan bahwa kalimat itu merujuk pada perjanjian yang disepakati Adam dan keturunanya. Perjanjian ini dibuat dalam suatu keadaan, yang dianggap seluruh kaum Muslim sebagai suatu yang sentral dalam sejarah moral umat manusia, karena semua benih umat manusia berasal dari sulbi anak-anak Adam. Penegasan Baidhawi sangat relevan jika dikaitkan dengan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi ditanya: “Agama yang manakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab “agama asal mula yang toleran (al-hanîfiyyatus samhah). 
Dilihat dari argumen-argumen di atas, menunjukkan bahwa baik al-Qur’an maupun Sunnah Nabi secara otentik mengajarkan toleransi dalam artinya yang penuh. Ini jelas berbeda dengan gagasan dan praktik toleransi yang ada di barat. Toleransi di barat lahir karena perang-perang agama pada abad ke-17 telah mengoyak-ngoyak rasa kemanusiaan sehingga nyaris harga manusia jatuh ke titik nadir. Latar belakang itu menghasilkan kesepakatan-kesepakatan di bidang Toleransi Antar-agama yang kemudian meluas ke aspek-aspek kesetaraan manusia di depan hukum.
Toleransi menurut Syekh Salim bin Hilali memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu antara lain:
1.        Kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan
2.        Kelapangan dada karena kebersihan dan ketaqwaan
3.        Kelemah lembutan karena kemudahan
4.        Muka yang ceria karena kegembiraan
5.        Rendah diri dihadapan kaum muslimin bukan karena kehinaan
6.        Mudah dalam berhubungan sosial (mu'amalah) tanpa penipuan dan kelalaian
7.        Menggampangkan dalam berda'wah ke jalan Allah tanpa basa basi
8.        Terikat dan tunduk kepada agama Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa ada rasa keberatan.
Selanjutnya, menurut Salin al-Hilali karakteristik itu merupakan Inti Islam, Seutama iman, dan Puncak tertinggi budi pekerti (akhlaq). Dalam konteks ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda. Artinya: “Sebaik-baik orang adalah yang memiliki hati yang mahmum dan lisan yang jujur, ditanyakan: Apa hati yang mahmum itu? Jawabnya : 'Adalah hati yang bertaqwa, bersih tidak ada dosa, tidak ada sikap melampui batas dan tidak ada rasa dengki'. Ditanyakan: Siapa lagi (yang lebih baik) setelah itu?. Jawabnya : 'Orang-orang yang membenci dunia dan cinta akhirat'. Ditanyakan : Siapa lagi setelah itu? Jawabnya : 'Seorang mukmin yang berbudi pekerti luhur." 
Dasar-dasar al-Sunnah (Hadis Nabi) tersebut dikemukakan untuk menegaskan bahwa toleransi dalam Islam itu sangat komprehensif dan serba-meliputi. Baik lahir maupun batin. Toleransi, karena itu, tak akan tegak jika tidak lahir dari hati, dari dalam. Ini berarti toleransi bukan saja memerlukan kesediaan ruang untuk menerima perbedaan, tetapi juga memerlukan pengorbanan material maupun spiritual, lahir maupun batin. Di sinilah, konsep Islam tentang toleransi (as-samahah) menjadi dasar bagi umat Islam untuk melakukan mu’amalah (hablum minan nas) yang ditopang oleh kaitan spiritual kokoh (hablum minallah).

2.3         Toleransi Dalam Praktik Sejarah Islam

Sejarah Islam adalah sejarah toleransi. Perkembangan Islam ke wilayah-wilayah luar Jazirah Arabia yang begitu cepat menunjukkan bahwa Islam dapat diterima sebagai rahmatal lil’alamin (pengayom semua manusia dan alam semesta). Ekspansi-ekspansi Islam ke Siria, Mesir, Spanyol, Persia, Asia, dan ke seluruh dunia dilakukan melalui jalan damai. Islam tidak memaksakan agama kepada mereka (penduduk taklukan) sampai akhirnya mereka menemukan kebenaran Islam itu sendiri melalui interaksi intensif dan dialog. Kondisi ini berjalan merata hingga Islam mencapai wilayah yang sangat luas ke hampir seluruh dunia dengan amat singkat dan fantastik.
Memang perlu diakui bahwa perluasan wilayah Islam itu sering menimbulkan peperangan. Tapi peperangan itu dilakukan hanya sebagai pembelaan sehingga Islam tak mengalami kekalahan. Peperangan itu bukan karena memaksakan keyakinan kepada mereka tapi karena ekses-ekses politik sebagai konsekuensi logis dari sebuah pendudukan. Pemaksaan keyakinan agama adalah dilarang dalam Islam. Bahkan sekalipun Islam telah berkuasa, banyak agama lokal yang tetap dibolehkan hidup.
Demikianlah, sikap toleransi Islam terhadap agama-agama dan keyakinan-keyakinan lokal dalam sejarah kekuasaan Islam menunjukkan garis kontinum antara prinsip Syari’ah dengan praktiknya di lapangan. Meski praktik toleransi sering mengalami interupsi, namun secara doktrin tak ada dukungan teks Syari’ah. Ini berarti kekerasan yang terjadi atas nama Islam bukanlah otentisitas ajaran Islam itu sendiri. Bahkan bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa pemerintah-pemerintah Muslim membiarkan, bekerjasama, dan memakai orang-orang Kristen, Yahudi, Shabi’un, dan penyembah berhala dalam pemerintahan mereka atau sebagai pegawai dalam pemerintahan. 
Lebih lanjut kesaksian seorang Yahudi bernama Max I. Dimon menyatakan bahwa “salah satu akibat dari toleransi Islam adalah bebasnya orang-orang Yahudi berpindah dan mengambil manfaat dengan menempatkan diri mereka di seluruh pelosok Empirium Islam yang amat besar itu. Lainnya ialah bahwa mereka dapat mencari penghidupan dalam cara apapun yang mereka pilih, karena tidak ada profesi yang dilarang bagi mereka, juga tak ada keahlian khusus yang diserahkan kepada mereka”. 
Pengakuan Max I. Dimon atas toleransi Islam pada orang-orang Yahudi di Spanyol adalah pengakuan yang sangat tepat. Ia bahkan menyatakan bahwa dalam peradaban Islam, masyarakat Islam membuka pintu masjid, dan kamar tidur mereka, untuk pindah agama, pendidikan, maupun asimilasi. Orang-orang Yahudi, kata Max I. Dimon selanjutnya, tidak pernah mengalami hal yang begitu bagus sebelumnya. 
Kutipan ini saya tegaskan karena ini dapat menjadi kesaksian dari seorang non-Muslim tentang toleransi Islam. Dan toleransi ini secara relatif terus dipraktikkan di dalam sejarah Islam di masa-masa sesudahnya oleh orang-orang Muslim di kawasan lain, termasuk di Nusantara. Melalui para pedagang Gujarat dan Arab, para raja di Nusantara Indonesia masuk Islam dan ini menjadi cikal bakal tumbuhnya Islam di sini.
Selanjutnya, dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, ia dilakukan melalui perdagangan dan interaksi kawin-mawin. Ia tidak dilakukan melalui kolonialisme atau penjajahan sehingga sikap penerimaan masyarakat Nusantara sangat apresiatif dan dengan suka rela memeluk agama Islam. Sementara penduduk lokal lain yang tetap pada keyakinan lamanya juga tidak dimusuhi. Di sini, perlu dicatat bahwa model akulturasi dan enkulturasi budaya juga dilakukan demi toleransi dengan budaya-budaya setempat sehingga tak menimbulkan konflik. Apa yang dicontohkan para walisongo di Jawa, misalnya, merupakan contoh sahih betapa penyebaran Islam dilakukan dengan pola-pola toleransi yang amat mencengangkan bagi keagungan ajaran Islam.
Secara perlahan dan pasti, islamisasi di seluruh Nusantara hampir mendekati sempurna yang dilakukan tanpa konflik sedikitpun. Hingga hari ini kegairahan beragama Islam dengan segala gegap-gempitanya menandai keberhasilan toleransi Islam. Ini membuktikan bahwa jika tak ada toleransi, yakni sikap menghormati perbedaan budaya maka perkembangan Islam di Nusantara tak akan sefantastik sekarang. 

2.4         Dasar Pemikiran dan Batasan Toleransi menurut Al-Quran dan Sunnah

2.4.1             QS. Al-Kafirun ayat 1-6 :
Description: SurahAl-Kafiroon.gifSurat Al-Kafirun diturunkan di Makkah dan terdiri dari 6 ayat. Nama Surah ini diambil dari perkataan Al-Kafiruun (orang-orang kafir) yang terdapat pada ayat 1. Melalui surah ini Allah SWT berfirman :






Artinya: :
1.        Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,
2.        Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
3.        Dan kamu bukan penyembah Tuhan yamg aku sembah.
4.        Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
5.        Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yamg Aku sembah.
6.        Untukmu agamamu,dan untukkulah,agamaku."
v  Asababun Nuzul QS. Al Kafirun
Turunnya QS. Al Kafirun dilatarbelakangi oleh ajakan kaum musrikin Quraisy yang selalu berupaya untuk membendung dakwah Rasulullah SAW dengan bujukan sampai dengan cara penyiksaan dan intimidasi mengalami kegagalan. Akhirnya ada gagasan untuk mengajak kompromi Rosulullah SAW. Mereka mengajak Rasulullah beserta para sahabat untuk menyembah tuhan mereka dengan cara mereka menyembah selama 1 tahun,kemudian 1 tahun berikutnya mereka bersedia untuk menyembah Allah SWT dengan tuntunan Rasulullah. Dari peristiwa itu lalu Allah mewahyukan kepada Rasulullah SAW sebagai respon ajakan kaum musrikin Quraisy.
v  Isi Pokok Kandungan QS. Al Kafirun
Isi pernyataan selanjutnya adalah Nabi Muhammad SAW memberikan penegasan kepada orang-orang kafir bahwa mereka pun tidak diperkenankan menyembah Allah . Hal ini terdapat dalam ayat 3 dan 5 . Tegasnya ada 2 hal yang tidak dapat untuk dikompromi/ditoleransi ialah Dzat yang disembah dan cara menyembah/beribadah. Toleransi hanya dapat dilakukan dalam hubungan sosial kemasyarakatan (muamalah).
Sedangkan pada ayat terakhir, Rasulullah memberikan ultimatum untuk tidak memaksakan kehendak pada orang lain untuk menganut suatu agama. Persoalan aqidah atau keyakinan agama adalah hak yang sangat azazi bagi masing-masing manusia. Jadi isi pokok kandungan QS. Al Kaafiruun :
1.         Batas-batas toleransi dalam hal aqidah dan ibadah.
2.         Umat Islam dilarang mencampuradukkan masalah aqidah dan ibadah.
3.         Tata cara beribadah dalam Islam adalah ditentukan oleh Rasulullah SAW.
4.         Toleransi hanya dibenarkan dalam bidang sosial kemasyarakatan,hubungan antar umat manusia (muamalah).
5.         Kebebasan bagi siapapun untuk memeluk agama apapun yang menjadi keyakinannya.
Bisa diambil 2 kata kunci dalam kandungan QS. Al-Kafirun tentang toleransi,yaitu "kebebasan" dan "batasan". Kata kunci "kebebasan" terurai jadi kebebasan memilih aqidah dan kebebasan untuk beribadah sesuai aqidah yag telah dipilihnya. Keduanya punya hubungan yang lurus. Yang 1 membatasi yang lain. Artinya,manusia hanya benar-benar bebas dalam hal memilih aqidah atau agama,setelah itu ia harus beribadah sesuai agamanya pilihannya itu. Kebebasan beribadah tidak bisa dimaknai secara internal atau beribadah dengan caranya sendiri. Contoh: Islam mengajarkan shalat 5 waktu, tidak bisa ditawar jadi 3 waktu. Kebebasan beribadah hanya dalam hubungan eksternal atau hubungan dengan pemeluk agama lain. Setiap muslim harus toleransi terhadap pemeluk agama lain untuk beribadah sesuai agamanya. Inilah yag dimaksud kata kunci "batasan",bahwa sikap toleransi seorang muslim hanya menyangkut hubungan sosial antar manusia dan ibadah dalam arti eksternal.
v  Wujud Pengamalan Qs Al-Kafiruun
Berdasarkan latar belakang turunnya dan kandungan QS. AL-KAFIRUUN diatas,bisa ditarik beberapa bentuk pengamalan dala keseharian dengan :
1.         Memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran agama Islam.
2.         Tidak mencampuradukkan perkara aqidah dan ibadah.
3.         Bertauhid pada Allah dan menjauhi perbuatan syirik.
4.         Beribadah dengan ikhlas dan benar sesuai tuntunan Rasulullah.
5.         Menghormati pemeluk agama laim dan tidak memaksakan agama pada orang lain.
6.         Memberi kebebasan untuk memeluk suatu agama.

2.4.2             Qs. Yunus(10) ayat 40-41
            Surat Yunus ayat 40-41 ini menjelaskan tentang sikap terhadap orang yang berbeda pendapat.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
وَمِنْهُمْ مَنْ يُؤْمِنُ بِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ لاَ يُؤْمِنُ بِهِ وَرَبُّكَ أَعْلَمُ بِالْمُفْسِدِيْنَ (٤٠) وَإِنْ كَذَّبُوْكَ فَقُلْ لِيْ عَمَلِيْ وَلَكُمْ عَمَلُكُمْ أَنْتُمْ بَرِيْئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيْءٌ مِمَّا تَعْمَلُوْنَ (٤١)
Artinya :
Di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada Al Qur’an, dan di antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan. Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah: “Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan”. ( QS Yunus 40-41 ).

v  Kesimpulan Surat Yunus ayat 40-41
1.         Umat manusia yang hidup setelah diutusnya nabi muhammad saw terbagi menjadi 2 golongan, ada umat yang beriman terhadap kebenaran kerasulan dan kitab suci yang disampaikannya dan ada pula golongan orang yang mendustakan kebenaran kerasulan nabi muhammad dan tidak beriman kepada Al-qur’an.
2.         Allah maha mengetahui sikap dan perilaku orang-orang beriman yang selama hidup di dunia senantiasa bertaqwa kepada-Nya, begitu juga orang kafir yang tidak beriman kepada-Nya.
3.         Orang beriman harus tegas dan berpendirian teguh dan yakin bahwa nabi muhammad betul-betul rasul Allah swt yang terakhir dan al-qur’an merupakan kitab yang berisi firman Allah swt

2.4.3             Qs. Surah Al-Kahfi Ayat 29
وَقُلِالْحَقُّمِنرَّبِّكُمْفَمَنشَاءفَلْيُؤْمِنوَمَنشَاءفَلْيَكْفُرْإِنَّاأَعْتَدْنَالِلظَّالِمِينَنَاراًأَحَاطَبِهِمْسُرَادِقُهَا
وَإِنيَسْتَغِيثُوايُغَاثُوابِمَاءكَالْمُهْلِيَشْوِيالْوُجُوهَبِئْسَالشَّرَابُوَسَاءتْمُرْتَفَقا

            Artinya:
      Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”.
v  Asababun Nuzul QS. Al Kahfi ayat 29
Ibnu Jarir mengetengahkan sebuah hadis melalui Dhahhak. Hadis yang sama diketengahkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui sahabat Ibnu Abbas r.a. yang menceritakan, bahwa Nabi saw. mengucapkan suatu sumpah. Kemudian empat puluh malam selanjutnya Allah menurunkan firman-Nya, “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi’, kecuali dengan menyebut ‘Insya Allah’”. (Q.S. Al Kahfi 28-34).
Sahabat Ibnu Abbas r.a. mengatakan, “Ayat di atas diturunkan berkenaan dengan Umayah ibnu Khalaf Al Jumahiy. Demikian itu karena Umayah menganjurkan supaya Nabi saw. mengerjakan suatu perbuatan yang tidak disukai oleh Nabi sendiri, yaitu mengusir orang-orang miskin yang menjadi pengikutnya dari sisinya, demi untuk mendekatkan akan pemimpin-pemimpin Mekah kepada dirinya. Setelah peristiwa itu, turunlah ayat di atas tadi.”

Ibnu Abu Hatim mengetengahkan sebuah hadis melalui Ar Rabi’ yang menceritakan, bahwa Nabi saw. pernah bercerita kepada kami bahwa pada suatu hari beliau bertemu dengan Umayah ibnu Khalaf yang membujuknya, sedangkan Nabi saw. pada saat itu dalam keadaan tidak memperhatikan apa yang dimaksud oleh Umayah; maka turunlah ayat di atas tadi. Ibnu Abu Hatim mengetengahkan pula hadis lain melalui sahabat Abu Hurairah r.a. yang menceritakan, bahwa pada suatu hari Uyainah ibnu Hishn datang kepada Nabi saw. sedang sahabat Salman berada di sisinya. Maka Uyainah langsung berkata, “Jika kami datang maka singkirkanlah orang ini, kemudian persilakanlah kami masuk”. Maka turunlah ayat di atas
Tentang Pemuda Al-Kahfi
Ashabul Kahfi, pemuda kahfi, adalah nama sekelompok orang beriman yang hidup pada masa Raja Diqyanus di Romawi, beberapa ratus tahun sebelum diutusnya nabi Isa as. Mereka hidup ditengah masyarakat penyembah berhala dengan seorang raja yang dzalim. Ketika sang raja mengetahui ada sekelompok orang yang tidak menyembah berhala, maka sang raja marah lalu memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti kepercayaan sang raja.
Tapi Ashabul Kahfi menolak dan lari, dikejarlah mereka untuk dibunuh.
Ketika mereka lari dari kejaran pasukan raja, sampailah mereka di mulut sebuah gua yang kemudian dipakai tempat persembunyian. Dengan izin Allah mereka kemudian ditidurkan selama 309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali ketika masyarakat dan raja mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja yang beriman kepada Allah SWT (Ibnu Katsir; Tafsir al-Quran al-’Adzim; jilid:3 ; hal.67-71).
v  Isi Pokok Kandungan QS. Al Kafirun
Surat Al-Kahfi merupakan surat yang ke  18, 15 dan 16, terdiri dari  110 ayat, merupakan ayat Makkiyah, kecuali ayat 28, 82 sampai dengan ayat 101 surat Madaniyah, di turunkan sesudah surat Al-Ghasiyah. Ayat ini menjelaskan  bahwa; Rasulullah SAW di perintah oleh Allah SWT untuk mengatakan kepada manusia, bahwa apa yang di sampaikan kepada mereka dari Tuhan mereka adalah perkara yang hak yang tiada kebimbangan dan tiada keraguan.
Ayat ini sesungguhnya bukanlah ayat tentang toleransi, atau justifikasi kebebasan beragama. Kalimat “Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barang siapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”. mengandung ancaman dan peringatan yang keras kepada mereka yang tidak mau beriman. Karena kalimat selanjutnya “sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang yang dholim itu neraka yang gejolaknya mengepung mereka”
Yang di maksud dengan orang-orang yang dholim itu adalah orang-orang yang ingkar kepada Allah, Rasul-Nya dan Kitab-Nya. Allah SWT telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, dengan potensi yang paling sempurna. Tafsir Ayat Al-Qur’an Surat Al-Kahfi/18: 29 secara umum mengisyarahkan bahwa umat Islam harus berani menyatakan sikap secara tegas dalam hal kebenaran. Kita dibolehkan untuk mengakui kebathilan itu memang ada di dunia ini, tetapai bukan berarti mengakui dan menyetujui bahwa yang batil itu adalah benar. Yang benar harus tetap diposisikan sebagai kebenaran begitu juga sebaliknya. Antara kenenaran dan kebatilan tidak boleh dicampur-adukkan. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya: “dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui”. (Q.S Al-Baqarah/2: 42).
Dan Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”. (QS Al-Kahfi/18: 29)
Ada tiga pandangan para mufassir dalam memahami Frase dari ayat di atas; pertama Menurut Ibn Abbas ayat ini menunjukkan kebebasan dalam menerima atau menolak ajaran agama. Kedua, menurut Az-Zujjaj ayat ini merupakan ancaman dan peringatan bukan perintah bebas memilih. Ketiga Al-Mawardi ayat ini menjelaskan bahwa keberadaan manusia menerima atau menolak agama Islam bagi Allah Swt. tidak ada pengaruhnya, keimanan mereka tidak akan memberikan manfaat bagi-Nya begitu juga kekafiran mereka juga tidak akan mencelakakan-Nya.
Menurut penulis dalam memahami Frase dari ayat di atas adalah bahwa kebenaran ajaran agama Islam searusnya diimani dengan diikrarkan di dalam hati, dinyatakan melalui lisan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi bagi Allah Swt. pada dasarnya Dia tidak memaksa dalam soal agama (Q.S. Al-Baqarah/2: 256), maka bebas saja bagi setiap manusia untuk memilih jalan iman atau kafir.
Allah Swt. hanya memberikan pilihan-pilihan, ada pilihan yang baik dan ada juga pilihan yang buruk. Lalu Dia berikan petunjuk-Nya melalui utusan-utusan-Nya di muka bumi selanjutnya manusia diwajibkan untuk melakukan ikhtiyar yakni berusaha memilih di antara pilihan-pilihan takdir yang sudah Allah Swt. tetapkan tersebut. Siapa yang memilih kebaikan lalu dibuktikannya dengan perbuatannya, maka sebesar apapun kebaikannya akan diperlihatkannya, begitu sebaliknya sekecil apapun perbuatan buruk juga akan diperlihatkan kepadanya,
Dalam QS. Al-Kahfi ayat 29 diterangkan pula bahwa siapa saja yang ingin beriman maka hendaklah ia beriman. Namun, jika seseorang memilih untuk tidak beriman maka itu pilihan seseorang yang tidak boleh dipaksakan. Sebenarnya makna ayat ini adalah perintah kepada nabi Muhammad SAW untuk memberikan peringatan kepada orang-orang yang lalai dan mengikuti hawa nafsunya. Bahwa sesungguhnya kebenaran adalah dari Allah dan kesesatan pula ada di dalam kekuasaan-Nya. Siapa saja yang ingin beriman maka hendaklah ia beriman dan siapa saja yang ingin dalam kesesatan maka hendaklah ia kufur.
v  Wujud Pengamalan Qs Al-Kahfi ayat 29
Orang yang mengamalkan ayat ini adalah orang yang berpegang teguh terhadap nilai-nilai agama yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Mereka tetap beriman dan berpegang teguh terhadap aturan Allah walaupun godaan dan rayuan untuk melepaskan keyakinan datang silih berganti. Karena mereka menyadari bahwa keputusan yang diambil pasti akan menerima konsekuensi dari apa yang dipilihnya. Keimanan yang diambil akan mendapatkan ridho Allah, begitu pula kekufuran yang diambil akan mendapatkan ganjarannya.

Selain itu, Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa toleransi dalam Islam dibangun diatas beberapa landasan pokok, yaitu:
a. prinsip tentang kemuliaan manusia betapapun beragamnya kehidupan mereka. Allah menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
 ولقد كرمنا بنى ادم وحملناهم فى البر والبحر ورزقناهم من الطيبات وفضلناهم على كثير ممن خلقنا تفضيلا (الاسراء: 70)
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di darat dan di lautanKami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”
b. Umat Islam meyakini bahwa mereka tidak bertanggungjawab terhadap jalan hidup yang dipilih oleh umat-umat lain. Kewajiban mereka hanya berdakwah, sementara pilihan antara iman atau tidak adalah urusan masing-masing pihak dengan Allah SWT. 
Allah SWT berfirman:
فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر (الكهف: 29) “maka siapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan siapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir…” 



c. prinsip tentang keadilan, selama pihak lain berlaku sama.
Allah SWT berfirman:
ولا يجرمنكم شنان قوم على الآتعدلوا اعدلوا هو اقرب للتقوى (المائدة: 8)“…
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa….”
Apa yang disebutkan oleh Yusuf al-Qaradhawi diatas, pada hakikatnya merupakan penegasan bahwa ajaran Islam tentang toleransi tidak dibangun diatas landasan yang rapuh, sebaliknya pada ajaran-ajaran fundamental yang masing-masing saling terkait. Satu hal yang agaknya dapat melengkapi dasar-dasar diatas adalah bahwa parameter yang digunakan Islam dalam menilai sesuatu adalah parameter keruhanian (ketakwaan), bukan parameter fisik atau keduniaan.Hal ini terlihat pada kesan yang ditimbulkan oleh ayat dan hadis yang berbicara tentang kesetaran dan persamaan hak dan kewajiban secara umum.

2.5         Contoh Perilaku Toleransi Dalam Islam

Pintu-pintu toleransi banyak sekali dan contoh-contohnya berbilang serta jalan-jalannya beragam hingga sulit menghitung detailnya dalam waktu singkat. Cukup bagimu sebagai dalil, bahwa toleransi mencakup Islam baik dari segi aqidah, ibadah, budi pekerti maupun pendidikan, bukanlah Islam itu agama yang lurus dan penuh toleransi?
Berikut ini adalah sebagian contoh toleransi dalam Islam:
a.             Toleransi terhadap sesama muslim
Merupakan suatu kewajiban, karena di samping sebagai tuntutan sosial juga merupakan wujud persaudaraan yang terikat oleh tali aqidah yang sama. Bahkan dalam hadits nabi dijelaskan bahwa seseorang tidak sempurna imannya jika tidak memiliki rasa kasih sayang dan tenggang rasa terhadap saudaranya yang lain. “Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu, sehingga mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. ” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sikap toleran dan baik hati terhadap sesame terlebih lagi dia seorang muslim pada akhirnya akan membias kembali kepada kita yaitu banyak memperoleh kemudahan dan peluang hidup karena adanya relasi, disamping itu Allah akan membalas semua kebaikan kita di akhirat kelak.

b.             Adapun toleransi terhadap non muslim
Mempunyai batasan tertentu selama mereka mau menghargai kita, dan tidak mengusir kita dari kampung halaman. Mereka pun harus kita hargai karena pada dasarnya sama sebagai makhluk Allah SWT. Bersikap tasamuh bukan berarti kita toleran terhadap sesuatu secara membabi buta tanpa memiliki pendirian, tetapi harus diba-rengi dengan suatu prinsip yang adil dan membela kebenaran. Kita tetap harus tegas dan adil jika dihadapkan pada suatu masalah baik menyangkut diri sendiri, keluarga ataupun orang lain. Walaupun keputusan tersebut akan berakibat pahit pada diri sendiri. Dalam ajaran islam keadilan ditegakkan tanpa memandang bulu baik rakyat jelata maupun raja harus tunduk kepada hukum dan ajaran Allah SWT. Jika ia melanggar harus menerima segala konsekwensinya.
Bentuk- bentuk tasamuh dalam kehidupan bermasyarakat, antara lain :
1. Tidak menggangu ketenangan tetangga, Rasulullah SAW bersabda :
Demi Allah tidak beriman, Demi Allah tidak beriman, Demi Allah tidak beriman,. Saat itu beliau ditanya “ Ya Rasullah siapakah yang tidak beriman itu “Rasulullah saw Bersabda ‘ (yakni) orang yang tetangganya tidak merasa nyaman karena gangguannya. (H.R. Bukhori). Hadits ini menjelaskan bahwa pengakuan iman seseorang tidak sempurna apabila masih suka menganggu ketenagan tenangganya, baik dengan ucapan yang jelek maupun perbuatan.
2. Tidak melarang tetangga apabila ingin
Memanam pohon dibatas kebunnya Rasulullah saw Bersabda yang artinya : “Janganlah seorang tetangga melarang tetangganya apabila ia ingin menanam pohon dibatas kebunnya”. (H.R. Bukhari)
3. Menyukai sesuatu untuk tetangganya, sebagaimana ia suka untuk dirinya sendiri.
Artinya : Demi Dzat yang aku berada di dalam kekuasannya, tidaklah seorang beriman sehingga ia menyukai buat tetangganya atau saudara sesuatu yang ia sukai buat dirinya sendiri (H.R. Muslim).

c.              Toleransi Dalam Jual Beli dan Hukum-Hukumya.
Allah Ta'ala berfirman yang artinya: Dan Syu'aib berkata: 'Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka..." [Hud : 85]
Allah Yang Maha Mulia juga berfirman yang artinya: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam ?" [Al-Muthaffifin : 1-6]
Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Allah telah mengampuni seorang lelaki dari kalangan umat sebelum kalian dulu, dia mudah bila menjual, mudah bila membeli dan mudah bila memutuskan" [Hadits Riwayat Tirmidzi 1320, Ahmad 3/340 dari hadits Jabir Radliyallahu anhu dan dishahihkan oleh Syaikh kami (Al-Albani) dalam Shahihul Jami' 4038]
Beliau juga bersabda. "Artinya: Sesunguhnya Allah mencintai jual-beli dan keputusan yang mudah" [Hadits Riwayat Tirmidzi 1319 Al-Hakim 2/56 dengan dua jalan dari Abu Hurairah dan dishahihkan oleh Syaikh kami (Al-Albani) dalam Shahihul Jami 1884]
Lafadh "samhun" artinya "sahlun" yakni mudah, dia adalah sifat musyabbahah yang menunjukkan penetapan, oleh sebab itu, Rasulullah SAW mengulangi keadaan jual-beli dan keputusan hukum. Hal ini menunjukkan sikap mempermudah dalam hubungan sosial dan membuang sikap kikir serta memberikan hak-hak menusia dengan segera (tidak terlambat).
Termasuk keindahan keputusan hukum adalah bahwa orang yang meminjam sesuatu lalu mengembalikannya dengan yang lebih baik atau lebih banyak dengan tanpa syarat adalah orang yang berbuat baik, dan hal ini halal bagi pihak yang meminjamkan.
Dari Abu Hurairah RA dia menceritakan. "Dahulu ada seorang lelaki yang meminjami Nabi SAW unta berumur setahun, lalu dia datang kepada beliau menagihnya. Beliaupun memerintahkan: "Berikan kepadanya!"  Maka para shahabat mencarikan unta yang sama denganya, namun mereka tidak mendapatkan kecuali unta yang lebih bagus daripadanya, beliaupun berkata: "Berikan unta itu kepadanya!"  Lelaki itupun berkata: "Engkau telah menepatiku mudah-mudahan Allah menepatimu".
Rasulullah SAW bersabda. "Artinya : Sesungguhnya orang yang paling baik diantara kalian adalah orang yang paling bagus keputusannya" [Hadits Riwayat Bukhari 4/482-483, 5/56-58, 22-227- Al-Fath dan Muslim 11/38 - Nawawi].
d.             Toleransi Dalam Hutang dan Tagihan.
Allah yang Maha Agung berfirman. "Artinya: Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka beri tangguhlah sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang itu) labih baik bagimu, jika kamu mengetahui" [Al-Baqarah : 280].
Sungguh peletak syari'ah (Allah) yang Maha Hikmah telah menghasung untuk memberi tangguh orang yang kesulitan hutang dan memberikan keistimewaan agung sebagaimana yang akan dijelaskan dalam pasal 'Keutamaan Toleransi", cukuplah bagimu untuk sekedar tahu, bahwa memberi tangguh orang yang kesukaran dan mema'afkannya termasuk penghapus dosa dan sebab Allah mema'afkan kesalahan-kesalahannya.
Rasulullah SAW bersabda. "Artinya: Dahulu ada seorang saudagar yang biasa menghutangi orang, bila dia melihat orang yang kesukaran (dalam membayar hutang), maka dia memerintahkan para pegawainya: "Ma'afkanlah dia mudah-mudahan Allah mema'afkan kita!" Maka Allah-pun mema'afkan dia..." [Hadits Riwayat Bukhari 4/309- Al-Fath]
Termasuk cara menagih yang bagus adalah toleran dalam menagih, menerima kekurangan sedikit yang ada padanya. Menuntutnya dengan mudah, tidak menjilat (rentenir, -pent), tidak mempersulit orang dan mema'afkan mereka mudah-mudahan Allah merahmati kita. Beliau Nabi SAW bersabda. "Artinya: Mudah-mudahan Allah merahmati lelaki yang toleran bila menjual, membeli dan menagih" [Hadits Riwayat Bukhari 4/206 -Al-Fath]

e.               Toleransi Dengan Ilmu.
Toleransi dengan ilmu di sini yaitu dengan cara menyebarkan ilmu dan ini termasuk pintu toleransi yang paling utama dan lebih baik daripada toleransi dengan harta, sebab ilmu lebih mulia daripada harta.
Maka seyogyanya seorang alim menyebarkan ilmu kepada setiap orang yang bertanya tentangnya bahkan mengeluarkannya secara keseluruhan, bila ia ditanya tentang suatu masalah. Maka dia memperinci jawabannya dengan perincian yang memuaskan dan menyebutkan sisi-sisi dalilnya, dia tidak cukup menjawab pertanyaan si penanya, namun dia menyebutkan contoh kasus serupa dengan kaitan-kaitannya serta faedah-faedah yang dapat memuaskan dan mencukupinya.
Para sahabat yang mulia Radliyallahu 'anhum pernah bertanya kepada Nabi SAW tentang orang yang berwudlu dengan air laut, maka beliau menjawab. "Artinya: Laut itu suci airnya lagi halal bangkainya" [Hadits Riwayat Ashabus Sunan dan Malik, lihat takhrijnya secara rinci dalam Ash-Shahihah 480]. Beliau menjawab pertanyaan mereka dan memberikan kepada mereka ketarangan tambahan yang mungkin sewaktu- waktu lebih mereka butuhkab daripada apa yang mereka pertanyakan.
f.                Toleransi Dengan Kehormatan.
Toleransi ini menunjukkan keselamatan hati, ketenangan jiwa dan kebersihan hati dari rasa permusuhan. Dahulu, Abu Bakar Ash-Shiddiq Radliyallahu anhu memberi uang belanja kepada Misthoh bin Utsatsah karena hubungan famili dan kefakirannya. Tatkala Misthoh binasa bersama orang yang binasa dari kalangan ashabul ifki (pembuat berita dusta), lalu dia tenggelam bersama orang yang tenggelam menuduh As-Sayyidah Aisyah Radliyallahu 'anha berbuat mesum, maka Abu Bakar Ash- Shiddiq Radliyallahu bersumpah tidak akan memberi uang belanja kepada Misthoh. Ash-Shiddiq ditegur, beliaupun bershodaqoh dengan kehormatannya walau dosa Misthoh sedemikian besar.
Sungguh indah ucapan penyair. "Sesungguhnya kadar dosa Misthoh dapat meruntuhkan bintang-bintang dari ufuknya. Sungguh telah terjadi apa yang terjadi Ash-Shiddiq ditegur tentang haknya (Si Misthoh) Biarlah, wahai pembaca!" Ummul Mukminin As-Sayyidah Aisyah Radliyallahu anha yang memberi tahu kita tentang kejelasan ini ; beliau mengisahkan: " ....Maka Allah menurunkan (ayat) tentang kesucianku"
Abu Bakr Ash-Shiddiq Radliyallahu 'anhu pun menyatakan: Dan dia dulunya memberi wang belanja kepada Misthoh bin Utsatsah karena kefamilian dan kefakirannya " Demi Allah! Aku tidak akan memberi wang belanja sedikit pun kepada si Misthoh selamanya setelah tuduhannya kepada Aisyah" maka Allah menurunkan (ayat). "Artinya: Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan diantara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabatnya, orang-orang miskin dan orang-orang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [An-Nur : 22]
Abu Bakr mengatakan: "Ya ! Demi Allah sungguh aku suka Allah mengampuniku" beliaupun kembali membantu Misthoh seperti sebelumnya, dan menyatakan: "Demi Allah aku tidak akan mencabutnya dari dia selamanya" [Hadits Riwayat Bukhari 8/455- Fath dan Muslim 17/113-Nawawi]
g.              Toleransi Dengan Kesabaran dan Menanggung Beban.
Hal ini termasuk bab toleransi yang paling banyak manfaatnya, tidak ada yang mampu bersikap seperti ini kecuali orang yang berjiwa besar. Barangsiapa yang sulit bertoleransi dengan harta benda, maka dia harus memiliki kemuliaan dan kedermawanan model ini, sebab ia dapat menghasilkan buah yang akibatnya terpuji di dunia sebelum akhirat nanti.
Allah Ta'ala berfirman. "Artinya : Lemah lembut terhadap kaum mukminin" [Al-Maidah : 54] Maksudnya, sikap mereka lembut dan lunak kepada saudara mereka kaum mukminin, namun dia tidak menghinakan dirinya.
Allah yang Maha Mulia berfirman. "Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu dari kalangan orang-orang yang beriman" [Asy- Syu'ara : 215] Maksudnya, hendaklah engkau bersikap lemah lembut, sebab: "Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu..." [Ali Imran: 159].
Nabi SAW bersabda. "Artinya: Kaum mukminin adalah orang yang lemah lembut dan lunak, seperti halnya onta jinak bila diikat dia terikat, bila dituntun dia tertuntun dan bila engkau menambatkannya pada sebuah batu maka diapun tertambat" [Lihat Ash-Shahihah: 936]
Rasulullah SAW menyerupakan seorang mukmin seperti unta jinak yang tidak pernah menolak penuntunnya dalam perkara apapun, dia menanggung beban dengan kesabaran bukan karena kebodohan dan kedunguan, namun karena sifat kemuliaan, budi pekerti yang luhur dan kedermawanan karena seorang mukmin adalah orang yang mulia sedangkan orang jahat (fajir) adalah orang yang jelek lagi penipu. Nabi SAW sendiri diserupakan seperti di atas, kemana pun beliau dibawa belaiu ikut.
Dari Anas bin Malik Radliyallahu 'anhu dia menceritakan: "Sungguh ada seorang budak wanita dari Madinah 'mengambil tangan' Nabi SAW, lalu ia mengajak beliau sekehendaknya" [Dikeluarkan oleh Bukhari 10/489 secara mu'allaq dan disambungkan oleh Ahmad 3/98, dia memiliki jalan lain dari Anas semisalnya, dikeluarkan oleh Ibnu Majah 4177 dan Ahmad 3/174, 215, 216 padanya terdapat Ali bin Zaid bin Jad'an dia lemah namun dapat dijadikan penguat]
Al-Hafidh Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan: "Yang dimaksud dengan 'mengambil tangan' adalah makna tersiratnya yaitu lemah lembut dan tunduk/patuh ... Ungkapan 'mengambil tangan' mengisyaratkan puncak perlakuan walaupun keperluan budak tadi hingga di luar kota Madinah dan memerlukan bantuan beliau niscaya beliau membantunya. Ini semua menunjukkan kelebihan sikap tawdlu' beliau dan bersihnya beliau dari segenap kesombongan." [Fathul Bari 10/490].

2.6         Manfaat Toleransi Hidup Beragama Dalam Pandangan Islam

1.             Menghindari Terjadinya Perpecahan
Bersikap toleran merupakan solusi agar tidak terjadi perpecahan dalam mengamalkan agama. Sikap bertoleransi harus menjadi suatu kesadaran pribadi yang selalu dibiasakan dalam wujud interaksi sosial. Toleransi dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya dengan eksisnya berbagai agama samawi maupun agama ardli dalam kehidupan umat manusia ini.
Dalam kaitanya ini Allah telah mengingatkan kepada umat manusia dengan pesan yang bersifat universal, berikut firman Allah SWT:
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada -Nya orang yang kembali.”(As-Syuro:13)
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Al-Imran:103)
Pesan universal ini merupakan pesan kepada segenap umat manusia tidak terkecuali, yang intinya dalam menjalankan agama harus menjauhi perpecahan antar umat beragama maupun sesama umat beragama.



2.             Memperkokoh Silaturahmi dan Menerima Perbedaan
Salah satu wujud dari toleransi hidup beragama adalah menjalin dan memperkokoh tali silaturahmi antarumat beragama dan menjaga hubungan yang baik dengan manusia lainnya. Pada umumnya, manusia tidak dapat menerima perbedaan antara sesamanya, perbedaan dijadikan alasan untuk bertentangan satu sama lainnya. Perbedaan agama merupakan salah satu faktor penyebab utama adanya konflik antar sesama manusia.
Merajut hubungan damai antar penganut agama hanya bisa dimungkinkan jika masing-masing pihak menghargai pihak lain. Mengembangkan sikap toleransi beragama, bahwa setiap penganut agama boleh menjalankan ajaran dan ritual agamanya dengan bebas dan tanpa tekanan. Oleh karena itu, hendaknya toleransi beragama kita jadikan kekuatan untuk memperkokoh silaturahmi dan menerima adanya perbedaan. Dengan ini, akan terwujud perdamaian, ketentraman, dan kesejahteraan.
Dampak positif perilaku tasamuh dalam kehidupan bermasyarakat
·           Memuaskan batin orang lain karena dapat mengambil haknya sebagaimana mestinya.
·           Kepuasan batin yang tercermin dalam raut wajahnya menjadikan semakin eratnya hubungan persaudaraan dengan orang lain.
·           Eratnya hubungan baik dengan orang lain dapat memperlancar terwujudnya kerjasama yang baik dalam kehidupan bermasyarakat.
·           Dapat memperluas kesempatan untuk memperoleh rezeki karena banyak relasi.






BAB IIi

PEnutup

3.1        Kesimpulan
Toleransi dalam Islam adalah otentik. Artinya tidak asing lagi dan bahkan mengeksistensi sejak Islam itu ada. Karena sifatnya yang organik, maka toleransi di dalam Islam hanyalah persoalan implementasi dan komitmen untuk mempraktikkannya secara konsisten. 
Namun, toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda itu. Toleransi di sini adalah dalam pengertian mu’amalah (interaksi sosial). Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-haknya.
Syari’ah telah menjamin bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Karena pemaksaan kehendak kepada orang lain untuk mengikuti agama kita adalah sikap a historis, yang tidak ada dasar dan contohnya di dalam sejarah Islam awal. Justru dengan sikap toleran yang amat indah inilah, sejarah peradaban Islam telah menghasilkan kegemilangan sehingga dicatat dalam tinta emas oleh sejarah peradaban dunia hingga hari ini dan insyaallah di masa depan.

3.2        Saran
Menurut kami, pelajaran toleransi ini sebaiknya diajarkan sejak dini, tetapi diajarkannya harus seusai syari’at Islam. Karena masih banyak masyarakat sekarang bersikap toleransi namun bertentangan dengan syarri’at Islam dan mereka menganggap hal itu boleh-boleh saja, padahal pada kenyataanya itu dilarang dalam Islam. Seperti mengucapkan “Selamat Natal” padahal dalam Islamm itu tidak dibenarkan.

Daftar Pustaka



No comments:

Post a Comment

Zona Nyaman?! Coba pindah dehh